Pukul 09.00 WIB,
alarm di handphone saya dan sukma
berbunyi. Tapi alarm handphone saya
yang lebih saya dengar karena letaknya tepat di telinga kiri saya. Tapi saya
baru benar-benar bangun beberapa menit kemudian, selanjutnya saya membangunkan
anak-anak yang satu tenda bareng saya, Sukma, Tiar dan Erwin. Bang Dimas dan
bang Dian yang tidur di tenda depan saya, saya panggil-panggil dengan
berteriak, malas untuk keluar tenda karena di dalam tenda pun dinginnya sangat
terasa. Selanjutnya kang Wawan yang saya panggil di tenda sebelah kiri saya.
Semua sudah menyahut, kami bersiap-siap, memeriksa peralatan, mengumpulkan lagi
motivasi dan semangat yang sedikit luntur karena tidur lelap kami tadi. Kami
luruskan motivasi menjamah Mahameru, mengesampingkan angkuh dan sombong.
Kami berenam
berkumpul membentuk lingkaran seperti biasanya, berdo’a. Kali ini bang Dimas
menyuruh saya yang memimpin do’a. “Malam
ini kita menghampiri mahameru, semoga Mahameru sudi bersahabat dengan kita,
semoga Mahameru mengizinkan kita bersujud di puncaknya. Berdo’a menurut agama
dan kepercayaan masing-masing, berdo’a mulai”, begitu kurang lebih kalimat
pengiring do’a dari saya. Selanjutnya bang Dimas: “apapun yang terjadi kita harus tetep bareng. Dian lo di depan nyari
trek, lanjut Yogie, Sukma, terus Erwin, Tiar, gw di
belakang jagain. Inget siapa di depan dan belakang kita. Kalo capek langsung
ngomong biar kita berhenti barengan”.
Kami bergabung ke
rombongankang Wawan dan yang lainnya. Entah berapa orang jumlah kita akhirnya
saat itu saya ga tau.Berdo’a dimulai lagi. Kang Sablu yang memimpin: “Ingat, kita satu tim. Jangan dipaksain kalo
cape atau gak kuat bilang”. Kami semua berangkat, kami berenam berada di
tengah-tengah diantara rombongan kang Wawan dan temannya.
Melewati satu-satunya shelter di Kalimati, lalu
jalanan menurun sedikit melalui sungai bekas aliran lahar Mahameru.Dari sana
jalanan tak ada lagi yang menurun. Semuanya benar-benar menanjak bahkan jauh
lebih terjal dari Tanjakan Cinta. Ditambah lagi akar-akar pepohonan yang banyak
melintang di jalur yang kami lalui menjadi tambahan penghambat langkah kami.
Sering kami harus saling mengulurkan tangan untuk menarik kawan yang ada di
bawah kami masing-masing. Terutama Sukma, karena dia satu-satunya wanita di
rombongan kami, lebih sering harus ditarik menaiki gundukan-gundukan tanah yang
tinggi. Kang Sablu dan 2 orang yang saya tidak tahu namanya di depan berjalan
sedikit lebih cepat dan gesit dari kami berenam. Saya dibelakang mereka bertiga
menjaga jarak agar yang depan tidak terlalu cepat dan yang di belakang tidak
tertinggal. Berkali-kali saya harus berteriak ke depan supaya memperlambat
langkah mereka, karena di belakang saya sering tertinggal. Tepat di belakang saya
Tiar yang sekali-kali menuntun Sukma, dilanjut Erwin, bang Dian dan bang Dimas.
Di belakang kami sisa rombongan kang Wawan dan teman-temannya kelihatannya
sedikit terhalang oleh kami yang istirahat lebih sering dari mereka.
Tebal pakaian
yang kami pakai karena suhu dari Kalimati saja sudah benar-benar dingin. Saya
pribadi memakai 2 kaos dan 2 jaket tebal lengkap dengan tudung kepalanya, 1
kupluk dan 1 celana PDL. Karena pakaian kami yang tebal, ditambah pasokan
oksigen yang makin tinggi makin berkurang, dan trek yang kami lalui sangat terjal, membuat nafas lebih cepat
habis, jantung terpompa lebih kencang dari biasanya. Energi pun lebih cepat
terkuras, konsumsi air jadi lebih banyak. Tidak berapa lama, yang kami takutkan
terjadi. Tiar mengeluh sesak, dan diperlukan bantuan oksigen. Kami pun ikut
menggunakan moment tersebut untuk
beristirahat, karena jujur kita semua kelelahan. Tiar yang tadinya menuntun Sukma
terpaksa harus sedikit dituntun, alhasil Tiar dan Sukma harus sedikit dituntun,
dan kami melakukannya bergantian.
Pukul 00.30 kita
sudah melewati Arcopodo, lahan terakhir yang bisa dipakai camp. Katanya banyak yang mendirikan tenda disini, tapi malam itu saya
tidak melihat atau mungkin tidak sempat melihat satu tenda pun berdiri, mungkin
karena gelap atau pikiran saya sedang fokus ke hal lain. Disini istirahat kami
bersama rombongan yang terakhir (seingat saya), karena saat itu kami berenam
memutuskan melanjutkan lebih dulu karena yakin akan tersusul lagi, lebih-lebih
tidak ingin rombongan selain kami terhadang oleh kami. Mulai dari sini,
koordinasi dengan rombongan selain kami berenam tidak sebaik seperti sebelum Arcopodo.
Dan celakanya, justru trek di Arcopodo
ini lebih sulit lagi. Selain jalur yang terjal dan akar-akar yang banyak
melintang, jalur di sekitar Arcopodo ini lebih sempit lengkap dengan jurang di
kanan kirinya, dan juga mulai berpasir karena semakin dekat dengan Cemoro
Tunggal, pohon terakhir di perbatasan vegetasi dan pasir Mahameru.
Benar saja, kami
berenam tersusul lagi oleh sebagian rombongan kang Wawan tadi. Kang Sablu yang
mendahului kami dan yang lainnya berinisiatif memasang tali webbing untuk membantu anggota rombongan
yang lainnya dan saya juga dihadiahi 1 tali webbing,
“untuk jaga-jaga” kata kang Sablu. Di
perbatasan vegetasi inilah kami berenam benar-benar terpisah dengan rombongan
kang Wawan. Tapi tak mengapa, toh yang paling penting kami berenam tidak
terpisah. Tepat di Cemara Tunggal, tempat terakhir kami melihat kang Sablu,
kami berenam beristirahat banyak karena kondisi Tiar mulai down lagi. Kami
mempersilahkan rombongan yang lain lebih dulu.
Dari Cemoro
tunggal, melihat ke atas dan kebawah yang terlihat hanya sinar-sinar lampu
senter atau headlamp yang menyala
berjejer rapih. Indah, cantik tapi membangkitkan kekhawatiran di diri saya
sendiri. Ramai sekali di jalur pasir ini. Pemandangannya saja terlihat seperti
semut sedang berjejer dan bersalam-salaman,
hanya saja kali ini semutnya bercahaya seperti kunang-kunang.
Kami meyakinkan
dan mengasah lagi motivasi masing-masing kami terutama Tiar. Kami meyakinkan
Tiar kalau kita mampu. Dengan sedikit dorongan, Tiar pun menganggukan kepala
dan mengacungkan jempol tanda dia siap lagi.Komando diambil alih lagi oleh bang
Dimas, setelah sebelumnya kami dikomandoi oleh kang Sablu. Bang Dian berjalan lebih dulu, dilanjutkan
Erwin dengan sedikit menuntun Tiar, lalu saya, Sukma terakhir bang Dimas.
Trek kali inilah yang
benar-benar bisa disebut trek. Jalur
yang terdiri dari pasir bercampur kerikil-kerikil kecil yang sesekali dan
hampir sering masuk ke dalam sepatu. Setiap melangkah, pasti kaki harus masuk
10cm lebih ke dalam pasir karena sifat pasir yang labil. Benar-benar menguras
tenaga, pikiran terutama hati. Karena setiap melangkah 2 atau tiga langkah kami
harus merosot lagi sejauh 1,2 atau 3 langkah bahkan lebih sampai 1-2 meter.
Disini saya mulai mempertanyakan brand
sepatu saya yang selalu saya bangga-banggakan itu. “Semoga sepatu gw gak jebol” harap saya cemas. Karena disamping kecewa, nasib kaki saya yang saya
khawatirkan saat melaluii jalur seperti ini dengan sepatu yang rusak.
Kami melanjutkan
pendakian dengan kondisi badan lebih membungkuk untuk menghindari merosot
terlalu jauh, kami pun harus lebih sering merangkak daripada berdiri. Setelah
melewati kira-kira setengah jalur pasir, kami berhenti total. Tiar benar-benar
tidak sanggup lagi berjalan. Sepertinya kakinya tidak kuat lagi menopang
badannya, lemas katanya. Kami beristirahat lebih lama. Tiar bilang dia tidak
kuat lagi melanjutkan. Tapi tim tidak meninggalkan Tiar begiitu saja, dan tidak
mungkin harus kembali lagi ke Kalimati karena kami sudah setengah jalan. Bukan
tidak mungkin kembali, lebih tepatnya terasa sia-sia kalau harus menyerah
setelah setengah jalan kami berhasil lalui. Ditambah lagi jalur seperti ini
tidak mudah pula untuk dituruni, harus juga berpapasan dengan orang-orang yang
sedang naik, dan juga sumber penglihatan kami hanya dari cahaya senter dan headlamp yang kami gunakan. Jadi,
kesimpulannya lebih baik meneruskan dari pada harus turun lagi. Bagaimana
dengan Tiar?. Itu prioritas utama tim saat itu. Tiar akhirnya “diderek”, dengan
mengikatkan tali webbing pemberian
kang Sablu ke pinggang Tiar lalu diikatkan ke pinggang Erwin, dan Erwin yang
bertugas menarik badan Tiar, saya menuntun Sukma, bang Dian membawa daypack berisi air dan obat-obatan. Bang
Dimas yang sibuk mengawasi dan mengantisipasi segala kemungkinan yang ada.
Perjalanan
berlanjut hingga beberapa puluh meter, Erwin angkat tangan. Dia bilang tak kuat
lagi harus menarik badan Tiar. Kami beristirahat lagi. Masalah bertambah ketika
kami mengetahui di botol minum kami hanya tersisa sedikit air saja. Sebenarnya
masih ada 1 botol besar lagi di daypack
yang dibawa bang Dian, tapi itu adalah persedian terakhir air kami sampai nanti
turun ke Ranugumbolo. Jadi, kalau air itu habis sekarang, kami tidak akan
bertemu air lagi sampai turun ke Ranugumbolo. Pengaturan air yang sudah ketat
sekarang semakin diperketat. Jatah kami sampai puncak hanya 1 botol besar air
mineral 1,5 liter yang berisi air tidak lebih dari setengahnya, botol minum saya
yang tidak lebih dari 1 liter, dan botol minum bang Dimas yang juga kecil. Dan
perjalanan pun berlanjut, dan bang Dimas yang akhirnya men”derek” Tiar. Dengan
sisa tenaga dan air yang kami miliki, kami melanjutkan berjalan lebih merangkak
menuju puncak Mahameru.
Di tengah-tengah perjalanan, urutan tepat kejadiannya saya
benar-benar lupa apakah sebelum atau setelah tiar “diderek”. Kami mendapati ada
orang jauh di bawah kami membakar petasan kembang api. Bagi saya itu tindakan
terkonyol, terbodoh sekaligus paling tidak masuk akal. Ditengah lelahnya para
pendaki yang sedang fokus meniti jalan untuk mencapai puncak, dia atau mereka
sempat-sempatnya membuyarkan konsentrasi para pendaki dari ledakan petasan yang
mereka buat. Bodoh.
_________________________________________________________________________________
Waktu di jam
Sukma sudah hampir menunjukan pukul 03.00 WIB, tapi kami masih belum mendengar
ada tanda-tanda puncak Mahameru sudah dekat.Jalur menjadi semakin berat, karena
beberapa kali kami harus membagi fokus lagi untuk menghindari batu-batu jatuh
dari atas. Mungkin karena para pendaki sudah sangat lelah, jadi banyak dari
mereka yang tidak fokus dan tidak sengaja menginjak batu yang akhirnya membuat
batu itu menggelinding ke bawah, itulah yang harus kami hindari.
Sukma meminta
istrirahat lagi. Saya dan Sukma berada di urutan paling belakang dari tim. Mereka
berempat terpisah lebih dulu di atas kami berdua, terutama bang Dian yang
sepertinya tidak ada lelahnya. Sukma minta diberikan lagi air, saya memberikan
botol minum pada Sukma. “basahin bibir
aja yah”, seperti itu pengaturan air yang saya buat. Karena sebenarnya haus
yang kami rasakan lebih dikarenakan debu yang membuat tenggorokan kita kering,
maka ketika haus saya memaksa anak-anak untuk menahannya. Kalau sudah
benar-benar tidak kuat baru saya kasih botol minum saya, karena itu jatah air
terakhir untuk saat itu. Beruntungnya botol minum saya didesign dengan lubang keluarnya air yang sempit, sehingga ketika
botol saya dibalik, air yang keluar hanya berupa tetesan. Untuk meminumnya,
kami harus menempelkan bibir kami dan menyedotnya. Jadi, saat itu kami yang
ingin minum, harus menempelkan ujung lubang air botol saya lalu
mengoles-oleskannya di seluruh bibir, setelah itu baru disedot dengan jatah
satu sedotan pendek lalu dikumur-kumur, baru setelah itu kami boleh menelannya.
Pengaturan yang saya buat itu sedikit menyelamatkan kami. Karena pada akhirnya
air pun tetap habis. Tapi setelah anak-anak sedikit memohon, akhirnya bang
Dimas mengizinkan untuk mengisi lagi botol minum saya dengan persediaan air
yang ada di daypack bang Dian, dan
itu benar-benar yang terakhir. Karena setelah itu, botol minum saya serahkan ke
Erwin karena tahu konsumsi minum Sukma lebih banyak dari yang lainnya. Dan demi
kebaikan bersama-sama pula, botol minum saya percayakan ke Erwin. Saya tidak
terlalu bermasalah, karena saya, bang Dimas dan bang Dian termasuk jarang
minum, kami bertiga sedikit lebih bisa mengatur konsumsi air kami. Tapi setelah
beberapa kali beristirahat saya perhatikan, air yang saya percayakan ke Erwin
tetap saja berkurang lebih banyak. Ya sudahlah, toh sama saja akan habis juga.
Dan air pun benar-benar habis. Tidak ada lagi jatah air untuk kami.
Putus asa mulai
menjangkiti kami. Diperburuk lagi persediaan air terakhir hanya setengah botol
yang ada di daypack bang Dian. Pikiran
kami benar-benar bercampur aduk. Perjalanan ini sepertinya tidak berujung. Rasa
bosan, jenuh, lelah, benar-benar menguras tenaga kami habis, tinggal semangat
yang tersisa. Intensitas istirahat kami lebih banyak, berjalan 2-3 langkah
berhenti. Kami berjalan bukan lagi dengan tenaga, kami berjalan dengan
sisa-sisa semangat yang kami masih miliki.
Sudah jam 5
lebih, langit mulai sedikit menunjukan warnanya. Fajar sudah menyingsing. Tapi
sepertinya kami masih jauh dari puncak. Tim mulai terpisah lagi, tanpa sadar
ternyata bang Dimas yang menuntun Tiar sudah berada di jalur sebelah kanan,
begitu juga Erwin dan bang Dian. Saya masih berada di jalur sebelah kiri bareng
Sukma. Kami terpisah oleh batu besar yang memanjang ke atas. Ingin menyusul ke
seberang kanan, tapi sepertinya tak sanggup, akhirnya saya memutuskan
melanjutkan di jalur sebelah kiri.
Langit sudah
semakin terang, tapi matahari pagi belum muncul. Motivasi mulai tinggi lagi,
karena dari atas terdengar teriakan “puncak...puncak...”.
Entah halusinasi, atau mungkin orang di atas hanya memotivasi kami yang masih
di bawah, tapi jujur itu memotivasi saya pribadi untuk lebih cepat lagi
berjalan. Samar saya lihat sekitar 50 meter ke atas saya ada batu besar, dan
secara sepihak saya berpendapat kalau di balik batu itu adalah puncak Mahameru.
Lagi, saya memotivasi Sukma yang semakin lemas, “mau lihat sunrise di puncak?”, saya memotivasi Sukma. Sukma hanya
mengangguk. Jarang dia bicara, selain “istirahat
donk”, “air”, “break", “masih jauh ga sih”, kata-kata itu yang lebih sering dia keluarkan.
Bang Dimas masih
setia menuntun Tiar, Erwin sesekali berhenti tanpa terlihat menengguk air
(karena air kami sudah habis), bang Dian masih seperti biasa berada di depan
semua anggota Tim. Dan sedikit di atas saya, satu jalur sama saya dan Sukma, saya
melihat orang memakai jaket kuning terang yang sepertinya saya kenal, kang
Darwis (tapi waktu itu saya juga belum tahu namanya kang Darwis). Kelihatannya
kondisinya tidak jauh berbeda dengan kami, berjalan 2 langkah lalu berhenti,
berjalan lagi 3 langkah lalu berhenti lagi, bedanya kang Darwis tidak duduk
waktu berhenti, katanya lebih susah lagi kalau isitirahat sambil duduk. Saya
sedikit mempercepat langkah ingin menyapa dulur
yang dari tadi malam terpisah. Setelah dekat, saya langsung memegang kaki kang
Darwis, karena begian tubuh yang paling dekat yang bisa disentuh itu kakinya
kang Darwis. Kang Darwis menoleh dan terlihat sumringah melihat masih ada kawan
yang bareng dia. Karena kang Darwis juga terpisah jauh dari rombongan yang
sudah jauh lebih dulu meninggalkan kang Darwis. Kami pun berjalan berbarengan
bertiga, tapi tanpa saya sadari, kang Darwis tertinggal lagi di bawah saya dan
Sukma, tapi tidak terlalu jauh hanya beberapa meter saja di bawah kami.
Langit semakin terang, semburat warna langit yang
menguning menandakan beberapa menit lagi matahari sudah akan hadir, tapi batu
besar yang menjadi tujuan kami tadi masih saja sebatas penglihatan, kami bahkan
belum mendekati, masih terlihat berpuluh-puluh meter lagi kami bisa sampai
disana. Mulai lagi berputus asa, kami beristirahat lagi di batu yang bisa untuk
bersandar. “gak akan ngeliat sunrise di
puncak”, saya pikir. Saya mengeluarkan canon 1100D milik Tiar dan Erwin
yang entah sejak kapan saya bawa, karena sebelumnya, seingat saya Sukma yang
menenteng tas kamera ini. Mungkin
bergantian saya yang akhirnya menenteng tas kamera, tapi saya lupa sejak kapan.
Yang jelas saya tidak mau melewatkan panorama yang satu ini. Tidak apa-apa
kalau saya tidak menyaksikan matahari terbit dari puncak Mahameru, tapi saya
tidak mau melewatkan panorama matahari terbit meski hanya di punggung Mahameru.
Saya mulai mengambil beberapa foto sembari beristirahat. Baru sadar saya,
ternyata pemandangannya luar biasa. Gumpalan awan berada tepat di bawah kami,
panorama yang jarang sekali ditemui.
Sedikit menikmati
keindahan panorama yang ada, cukup mengobati kelelahan yang ada tapi tidak
mengembalikan tenaga yang sudah habis berceceran dari kalimati sampai tempat
kami berdiri saat itu. Kami melanjutkan lagi perjalanan meski dengan
tertatih-tatih, karena langit sudah benar-benar terang. Kami mengkhawatirkan
matahari yang nanti akan semakin meninggi, suhu pasti akan terasa jauh lebih
panas, debu akan semakin banyak karena pasir sudah tak lagi lembab oleh dingin,
ditambah lagi kalau terlalu siang sampai di puncak dikhawatirkan angin sudah
berubah arah menuju arah kami membawa gas beracun dari kawah junggring saloko,
dan saya pribadi tidak mau perjalanan hanya terhenti sampai disini. Jadi, saya
sedikit memaksa Sukma untuk tetap lanjut waktu dia bilang “gak kuat lagi”. Saya sudah kehabisan motivasi untuk Sukma, yang
bisa saya bilang ke Sukma tinggal kalimat “tanggung,
sebentar lagi, sayang kalo gak sampe puncak”.
Tiba-tiba saja
bang Dimas dan yang lainnya berhenti di seberang kanan. Terlihat bang Dimas
meringis, bukan kesakitan, tapi dia bilang dia tidak kuat lagi menuntun Tiar.
Erwin pun terlihat putus asa. Singkat cerita, akhirnya Tiar dan Erwin
memutuskan tidak melanjutkan lagi, dan bang Dimas melanjutkan setelah beberapa
menit beristirahat. Saya pun memutuskan untuk lanjut pastinya. Dengan sedikit
lagi memaksa Sukma untuk tetap lanjut
kami pun melanjutkan pendakian, meski hanya tersisa saya, Sukma, bang Dimas, bang
Dian, kang Darwis yang semakin jauh tertinggal, dan beberapa pendaki lainnya.
Semakin siang, pasir tak lagi lembab yang menyebabkan
pasir semakin labil dan semakin banyak batuan yang berjatuhan, parahnya yang
berjatuhan kini semakin besar-besar saja. Diperparah lagi sudah banyak pendaki
yang berhasil mencapai puncak sebelum sunrise
mulai turun untuk pulang. Karena saat turun, langkah kaki akan lebih cepat dan
menyebabkan debu berterbangan lebih banyak dan banyak batu yang tidak sengaja
terinjak dan akhirnya menggelinding lagi ke bawah. Kesal sebenarnya, karena
banyak dari mereka yang turun tidak toleransi terhadap kami yang masih berjuang
untuk mencapai puncak. Tapi apa daya, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ada
orang tinggi besar memakai jaket merah,
sepertinya dia juga terpisah dari rombongannya, beberapa kali harus
meloncat-loncat untuk menangkap batu yang jatuh dari atas. Terhitung 3 kali saya
lihat dia meloncat untuk menangkap batu yang rata berukuran sebesar kepala
orang dewasa. Salute to him.Bahkan,
sempat satu kejadian yang sangat saya ingat. Sedang fokusnya semua pendaki
terhadap Mahameru, terdengar teriakan yang sangat kencang dari arah atas, “batu..awas batu”. Secara serentak semua
kepala menengadah ke atas, mencari-cari dari arah sebelah mana batu datang. Tak
terlalu susah mencarinya, karena ukuran batu yang jatuh kali itu 4 kali lebih
besar dari kepala orang dewasa, jadi, tidak terlalu sulit untuk melihatnya. Masalahnya
lebih besar lagi, karena batu besar itu tidak menggelinding seperti biasanya,
tapi memantul-mantul seperti permainan bouncing
di ponsel polyphonic generasi
pertama. Hal itu menyebabkan semua pendaki tidak bisa memprediksi ke arah mana
batu itu akan jatuh, dan kami pun tidak bisa langsung menghindar seperti
biasanya. Di jalur sebelah kiri, saya, Sukma, bang Jejen dan pendaki lainnya di
jalur kami diam terpaku berjaga-jaga kalau batu besar itu akan memantul ke
jalur kami, karena memang batunya memantul-mantul di jalur sebelah kanan kami,
jalur bang Dimas dan lainnya. Sedangkan bang Dimas, saya lihat sudah
bersiap-siap untuk menghindar jika batunya memantul tepat ke arahnya. Dan BRAAKKKK, saya lihat batunya membentur
batu lain yang lebih besar dengan kerasnya, tepat sekitar 2 meter di depan
wajah bang Dimas. Tidak tahu seperti apa pastinya perasaan bang Dimas, yang
jelas saya pribadi yanghanya melihat dari kejauhan dag dig dug tidak karuan. Terlebih batu terbelah jadi 2 pasca
benturan, semakin menyulitkan bang Dimas untukmenghindar. Tapi syukurlah bang
Dimas selamat, meski ada seorang wanita yang sedikit terluka kakinya karena
kejadian tadi, entah bagaimana ceritanya saya tidak menanyakannya. Dia butuh plester untuk lukanya, saya tawarkan 1
untuknya.
Singkat cerita
lagi, kami sudah sampai di batu besar yang menjadi target kami tadi, tapi
ternyata puncak tidak berada tepat di balik batu tadi. Masih jauh lagi kami
harus berjalan menuju puncak Mahameru. Sempat juga kami berpapasan lagi dengan
orang-orang yang satu rombongan dengan kami dari Kalimati, tapi kami hanya
bertegur sapa seadanya karena memang tidak terlalu kenal. Baru ketika
berpapasan dengan kang Wawan dan kang Sablu kami berbincang sebentar,
bertanya-tanya tentang jarak sampai ke puncak. Sebentar lagi katanya, tapi kang
Wawan menyuruh untuk melanjutkan, “omat,
kudu nepi ka puncak nya gie”, begitu kata kang Sablu. Mereka meneruskan
turun dan kami meneruskan naik, tidak lupa kami meminta air karena sudah
berjam-jam lamanya kami tidak minum, tapi ternyata air mereka pun sudah habis
tadi di puncak. Tidak lama kemudian kami berpapasan lagi dengan 3 orang dari
bogor, kata-kata mereka bertiga yang membuat down saya, “huuuuhhh...jauh
keneh gie, aya meureun kana sajam deui
mun teu loba istirahat mah”. Benar-benar down saya dibuatnya. Sebelum mereka turun saya mengemis air ke
mereka, biar cuma seteguk juga. Salah satu dari mereka membuka daypacknya lalu mengeluarkan sebotol
penuh air 1,5 liter, dengan sigap saya mengambil lalu meminum sedikit airnya,
karena tetap saja mereka juga masih butuh untuk mereka sampai ke Ranugumbolo.
Sehabis saya, saya kasih ke Sukma yang pastinya sama kehausan juga, tapi saya
menyuruhnya untuk minum sedikit saja. Setelah saya kembalikan botol minum
mereka, tapi mereka menyuruh saya menyimpannya, “geus bawa weh, urang mah aya keneh”. Baiknya, saya pikir sambil
berkaca-kaca dalam hati, seketika itu juga saya melihat mereka seperti
malaikat, meski beberapa saat yang lalu saya sempat kesal terhadap mereka
bertiga. Kami berterima kasih, dan mereka melanjutkan perjalanan turun mereka.
Akhirnya saya melihat sekeliling saya, mencari-cari bang Dimas, bang Dian dan
kang Darwis yang pasti kehausan juga, hendak menawarkan air ceritanya. Tapi
bang Dimas mengacungkan jempol tangan kanannya, masih ada katanya. Bang Dian
entah kemana tidak terlihat, kang Darwis pun masih jauh belasan meter di bawah saya.
Akhirnya saya menawarkan orang berjaket merah yang tadi menangkap batu
berkali-kali, Jejen namanya. Dia minum sedikit, lalu saya menawarkan lagi ke 2
orang lain di sekitar saya. Mereka berduan yang tidak tahu diri,
mentang-mentang ditawari, mereka meminum airnya dengan rakus. Alhasil, air pun
tersisa tinggal setengahnya kurang. Saya maklum, dan kami melanjutkan lagi
perjalanan.
Singkat cerita,
puncak sudah terlihat beberapa belas meter lagi di atas saya dan Sukma. Bang
Dimas dan bang Dian sudah disana lebih dulu. Saya meminta Sukma melihat jam,
setengah sembilan katanya. Pantas saja, panasnya sangat terasa. Air tinggal
tersisa sekitar 2 cm lagi dari dasar botol, kang Darwis sudah tidak terlihat
lagi, tinggal saya berdua sama Sukma, dan kami harus benar-benar sampai puncak.
Tapi ternyata jarak belasan meter tidak semudah seperti apa yang dibayangkan.
Butuh waktu berrpuluh-puluh menit lagi untuk mencapainya.
And finally, saya dan Sukma
melewati 2 batu besar yang seakan berperan sebagai gapura selamat datang bagi
para pendaki yang berhasil mencapai puncak, hanya saja kurang tulisan “Congratulation... You’re on top of Mahameru”.
Sukma meminta air, saya berikan botol air terakhir, saya suruh Sukma untuk
menghabiskannya (padahal saya juga haus :))). Bang Dimas dan bang Dian menyambut
kami berdua. Perasaan haru memuncak di ubun-ubun saya. Akhirnya, saya ditemani
Sukma berhasil berdiri di tanah tertinggi pulau jawa. Impian saya dari setahun
lalu, rencana yang sempat gagal beberapa kali akhirnya terwujud meski alur
cerita yang berbeda. Tangis haru hampir tumpah, tapi bang Dimas mencegahnya
lebih dulu. “Sekarang udah jam 9 lewat
seperempat, lo berdua ada waktu 15 menit untuk foto-foto, abis itu langsung
turun, takut asap beracunnya naik”, itu kata-kata bang Dimas yang menahan
air mata haru saya jatuh. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengajak Sukma
untuk foto-foto. Dengan perasaan was-was mengenai gas beracun, saya langsung
memilih 2 spot untuk melakukan photo session di puncak Mahameru.
Sedangkan bang Dimas dan bang Dian turun lebih dulu untuk melihat keadaan Tiar
dan Erwin.
Spot pertama. Karena kepanasan, saya langsung melepaskan 2
jaket tebal beserta kupluk yang saya pakai dari semalam. Banyak kumpulan
pendaki yang berhasil mencapai puncak Mahameru dengan sebuah tongkat yang
ditancapkan ke dalam tumpukan batu Mahameru sebagai pusatnya. Di ujung tongkat
yang hanya sekitar 2 meter saja, berkibar selembar kain yang tak asing lagi
bagi warga Indonesia, Sang Saka Merah Putih. Spot itu yang pertama kami ambil. Tidak lama kemudian, sebuah suara
angin menyeramkan yang dari semalam kami dengar, kini terdengar lagi dan lebih
keras suaranya. Suwara Suwitan Lubang Kaldera, begitu orang-orang menyebutnya.
Lalu disusul oleh semburan asap dari kawah Junggring Saloko, sisi selatan
Mahameru. Pemandangan indah yang juga tidak ingin saya lewatkan, saya pun
mengambil beberapa foto Sukma dengan latar belakang semburan asap kawah Junggring
Saloko.