remember one thing...shit always happens...

Sabtu, 07 September 2013

Mengejar Sujud ke Mahameru

Sebuah tulisan dokumentasi perjalanan..


- Prolog
- Bab 1
- Ranugumbolo, Danau Cantik diatas Awan
- Kalimati, Penjaga Setia Kaki Mahameru
- Mengejar Sujud ke Mahameru
- Kabar Gembira untuk Kawan

Kabar Gembira untuk Kawan

Aku merindukan lagi masa..
Dimana hanya ada aku, kamu dan Mahameru
-gie-
_________________________________________________________________________________

Di bab terakhir ini tidak terlalu banyak cerita yang bisa saya sampaikan.


Perjalanan turun ternyata tidak jauh lebih mudah dari perjalanan naik yang kami lakukan selama lebih dari 11 jam, terhitung kurang lebih dari pukul 22.00 WIB sampai 09.15 WIB, meskipun jauh lebih cepat. Dan akhrinya, kami berenam meninggalkan puncak Mahameru, siap membagi cerita kepada Diah dan Anis, kepada keluarga dan kawan-kawan di rumah.


Perjalanan turun ke Kalimati. Tampak sebelah kanan atas, Kalimati.


Ditambah juga bang Jejen, teman kehausan, pria berjaket merah yang tadi saya cerita dia beberapa kali harus melompat untuk menangkap batu-batu yang jatuh, kami menapaki lagi punggung Mahameru, tapi kali ini menurun. Di puncak tadi kami bertemu bang Jejen dan sempat berfoto bersama juga.
Pasir dan kerikil di punggung Mahameru benar-benar sudah tidak lembab lagi. Itu sedikit membantu kami untuk turun. Sekali melangkah kami bisa merosot 1 sampai 2 meter, jadi kami bisa mempercepat jalan turun. Tapi masalahnya debu yang dihasilkan pun lebih banyak. Ditambah lagi ketika merosot kaki merembas lebih dalam ke dalam pasir, sehingga kadang membuat kami terjatuh dan kerikil masuk lebih banyak ke dalam sepatu. Tapi tak apa, haus yang mendorong kami untuk terus berjalan lebih cepat.
Setengah jam lebih kami sudah melewati jalur berpasir Mahameru melewati cemoro tunggal, perbatasan vegetasi dan jalur pasir. Dari sini tim terpisah. Saya, Sukma dan bang Dimas lebih dulu, dan yang lainnya di belakang kami bertiga.
Memasuki Arcopodo perjalanan justru makin sulit. Jika tadi di jalur pasir kami tinggal merosot saja, dari sini kami harus berjalan seperti biasa lagi dengan kaki menahan beban lebih, karena ketika menurun seluruh beban akan bertumpu pada kaki. Diperparah, jari-jari kaki sangat sakit karena terdapat banyak kerikil di dalam sepatu.
Seingat saya, kami melewati dua batu nisan yang semalam juga kami melewatinya. 2 orang yang mungkin meninggal atau menghilang di semeru. Tapi, makam Soe Hok Gie yang saya cari, kami tidak melihatnya. Menurut kabar nisannya sudah dipindahkan ke bawah, atau memang mungkin tidak pernah berada disana. Kami beristirahat sebentar sebelum area camp Arcopodo, berfoto-foto sebentar sambil mengistirahatkan kaki.
Selagi kami beristirahat, nikmat Tuhan yang kalian dustakani. Bang Jejen menyusul kami, ikut beristirahat dan memberikan 1 kaleng minuman rasa jeruk. Kami bertiga membagi minuman rasa jeruk yang tersisa setengahnya itu. Benar-benar nikmat, sedikit mengurangi rasa haus kami. Kami bertiga melanjutkan turun lagi, sedangkan bang Jejen memilih beristirahat lebih lama lagi. Tidak banyak lagi yang bisa saya ceritakan di perjalanan turun menuju Kalimati, karena memang tidak banyak yang saya ingat. Konsentrasi sudah benar-benar hilang, serasa seperti mayat hidup berjalan tanpa ingatan. Seingat saya, hanya melewati camp Arcopodo yang ternyata ada beberapa tenda didirikan disana, tapi semalam saya tidak sempat melihatnya karena mungkin gelap dan terlalu fokus. Dan cerita saya singkat lagi, kami bertiga sampai di Kalimati, di tenda kami. Bang Dian sudah lebih dulu ada disana. Kurang ingat juga kejadian-kejadian disana. Yang saya ingat, Erwin dan Tiar akhirnya datang, lalu semua anggota tim tidur kecuali saya yang susah untuk tidur waktu itu. Dan saya menunggui mereka tidur dengan mengobrol bersama kang Wawan dan kang Sablu yang lebih dulu turun, serta kang Darwis yang akhirnya memutuskan tidak meneruskan sampai puncak. Itu yang saya ingat di waktu itu. Maaf, ingatan saya tercecer lagi sepanjang puncak Mahameru sampai Kalimati.


Sepatu yang membawa gw ke puncak Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D. Edited by gie.

_________________________________________________________________________________

Selepas shalat jama’ ashar dan dluhur, kang Sablu dan 2 kawannya sudah siap untuk turun ke Ranugumbolo. Tidak ingin sendiri, saya membangunkan anak-anak untuk bersiap-siap juga untuk turun. Bukan tidak kasian saya melihat mereka terlelap kelelahan, hanya saja waktu yang semakin sore.
Semua bersiap-siap, tenda dilipat, semua barang bawaan sudah masuk kedalalm carrier masing-masing. Persediaan air kami sudah terisi penuh lagi. Sewaktu anak-anak tidur tadi, kang Wawan memberikan 1 derigen air penuh untuk kami, lumayan cukup untuk turun ke Ranugumbolo.
Kami pun berangkat menuju Ranugumbolo, membawa sejuta cerita haru tentang Mahameru.
Dalam perjalanan pulang, tidak ada hambatan yang berarti, tidak banyak juga cerita yang bisa saya ceritakan, karena memang datar-datar saja. Seperti seharusnya kami melewati puncak Jambangan, tempat terakhir kami bisa melihat Mahameru, kami berhenti sekejap untuk mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan untuk Mahameru. Selanjutnya jalanan menurun. Sesekali kali kami berpapasan dengan pendaki yang menuju Kalimati. Kami memberikan semangat seperti yang pendaki lain berikan kepada kami sewaktu naik.
Hari sudah mulai gelap, suhu mulai mendingin, dan suasana mistis terasa lagi saat kami memasuki hutan cemara antara puncak Jambangan dan Cemoro Kandang. Sesampainya di Cemoro Kandang, kami beristirahat sebentar. Mengeluarkan senter dan headlamp yang akan membantu kami menerangi jalan, sedangkan saya menyempatkan diri untuk shalat jama’ maghrib dan isya.
Tidak ingin berlama-lama, kami melanjutkan lagi perjalanan memasuki kawasan Oro-oro ombo. Tidak seperti siang hari, Oro-oro Ombo terlihat sedikit menyeramkan saat kami melewatinya malam hari. Lalu menanjak sedikit menuju puncak Kepolo, kemudian menuruni Tanjakan Cinta. Dan sampailah kami di camb barat Ranugumbolo. Kami mencari-cari tenda yang diisi Diah dan Anis. Sedikit sulit karena Ranugumbolo sudah penuh berisi penuh tenda-tenda para pendaki yang hendak naik maupun turun. Kami langsung menyalami Diah dan Anis yang sejak kemarin terpisah dari kami. Secara garis besar Erwin menceritakan keadaan kami dari hari kemarin. Saya, Tiar, bang Dimas dan bang Dian langsung mendirikan tenda karena sudah ingin beristirahat.
Nasi, ikan sarden, telur rebus dan “es” tempe orek menjadi menu kami makan malam itu. Selanjutnya kami semua tertidur dengan pikiran masing-masing. Kami harus fit untuk perjalanan pulang esok hari.
_________________________________________________________________________________


1 jam sebelum matahari terbit saya sudah bangun. Saya tidak mau lagi melewatkan panorama sunrise di Ranugumbolo. Tayammum, shalat shubuh, saya langsung keluar dan membangunkan semua anggota tim. Mengajak menyaksikan panorama yang sempat terlewat di hari kemarin. Tapi sayang, kabut terlalu tebal sehingga menghalangi panorama sunrise yang sedari tadi kami tunggu.



Erwin sedang Packing.




Suasana packing hendak pulang.


Anak-anak memasak sarapan. Saya berkeliling lagi mencari tenda kang Sablu dan 2 kawannya yang ternyata lagi tidak begitu jauh dari tenda kami, hanya berjarak beberapa tenda saja. Setelah sarapan, kami mengisi waktu lagi dengan berfoto-foto ria. Biar muka sudah hitam kekeringan karena terlalu dekat dengan Matahari, tenang saja, masih ada photoshop yang siap mencerahkan.


Camp utama Ranugumbolo, sisi barat Ranugumbolo dengan latar tanjakan cinta. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.


Tim, kang Wawan, kang Salue dan kang Darwis


Kami dan Ranugumbolo.

Setelah semua barang sudah packed dan siap dibawa kami memulai perjalan turun ke Ranupane. Seperti biasa tak ada cerita menarik yang bisa saya ceritakan, karena kami hanya menghabiskan perjalanan dengan foto-fot, mendengarkan musik, mengobrol, bercanda, bertegur sapa dengan para pendaki yang naik maupun turun, dan sesekali berhenti untuk istirahat dan minum. 


Camp utara Ranugumbolo. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.


Tim di satu-satunya jembatan yang kami temui. Photo by Tiar. .


TIm di gerbang masuk dan keluar pendakian Semeru jalur Ranupane.

Dan tengah hari, kami sudah sampai di Ranupane. Pengurusan administrasi, pemeriksaan sampah bawaan yang ternyata tidak benar-benar diperiksa. Itu mungkin penyebab utama Semeru kotor. Saya tidak menceritakan bagaimana kotornya Semeru waktu itu, karena memang tidak mempengaruhi semangat dan haru kami. Tapi miris saja, melihat bagaimana orang-orang tidak bertanggung jawab membuang sampah seenaknya, BAB sembarangan, dan sampah-sampah kemah yang tidak dibersihkan. Yang paling miris buat saya, air Ranugumbolo yang pinggirannya penuh dengan sampah dapur. Kebanyakan yang berkemah di Ranugumbolo mencuci peralatan masak mereka langsung masuk ke dalam danau, hal yang sangat tidak beradab menurut saya. Dan sedihnya, pihak pengelola Semeru tidak menunjukkan ketegasannya tentang hal itu. Saya hanya bisa berharap ada sistem yang bisa mencegah kotornya Semeru, dan secara pribadi saya membersihkan sendiri sampah yang saya hasilkan, apapun bentuknya terutama sampah-sampah nonorganik yang sangat sulit dicerna alam.
Menjelang sore, setelah membeli beberapa merchandise Mahameru, saya pribadi membeli 2 emblem pesenan kawan saya Tonjir dan 1 kaos hitam bergambar letusan Mahameru, bang Dian membeli kaos dengan tulisan “keep calm and hike mahameru”, dan lainnya dan lainnya. Kami melanjutkan perjalanan turun kami ke Tumpang dengan menyewa mobil L300 bak terbuka berwarna hitam. Kami bergabung bersama rombongan bang Jejen.
Memasuki waktu maghrib, kami sampai di Tumpang. Bang Jejen dan rombongannya langsung menuju stasiun untuk bermalam disana, sedangkan kami mencari penginapan murah di daerah Tumpang. Setelah melakukan cross check di 2 penginapan yang terhitung mahal, kami diizinkan memakai kamar kost milik Ibu pemilik warung makan samping Puskesmas Tumpang yang di hari pertama kami singgah untuk sarapan. Kami harus membayar cukup murah untuk menginap disana dengan bonus sarapan pagi untuk esok hari.
Keesokan harinya, sekitar pukul 11.00 WIB kami berangkat ke stasiun dengan menyewa angkot lagi. Sesampainya di stasiun, saya berpisah dari rombongan. Karena saya memiliki tiket ke Bandung yang keretanya berangkat pada pukul 12.35 WIB, sedangkan yang lainnya memiliki tiket ke Ibukota yang keretanya berangkat jam 7 malam nanti. Kami pun berpisah, mereka mengantar saya sampai ke gerbang masuk stasiun Malang. Saling menyalami dan  berpelukkan, kami pun berpisah.
Saya langsung memasuki gerbong Bisnis-B seat 9B yang saya dapatkan dengan membayar Rp. 260.000 saja. Selama perjalanan pulang ke Bandung, saya menghabiskan waktu dengan melamun. Seperti berdiri diantara mimpi dan kenyatataan, saya belum yakin kalau saya sudah melalui petualangan yang luar biasa. Saya masih belum percaya kalau saya berhasil berdiri di atas tanah tertinggi pulau jawa, sungguh sesuatu yang luar biasa. Tidak sabar rasanya untuk sampai di rumah, tidak sabar ingin bercerita kepada kawan, teman, keluarga dan semua orang kalau saya baru saja melihat sesuatu yang luar biasa. Menceritakan betapa megahnya Ibu Pertiwi untuk sekedar dicintai.
Terima kasih Tuhan..
Terima kasih kawan-kawan..
Terima kasih Mahameru, suatu saat aku kembali lagi, semoga...
_________________________________________________________________________________




 T A M A T



Mengejar Sujud ke Mahameru

Mahameru, izinkanku bersujud dari atasmu...
-gie-
_________________________________________________________________________________

Pukul 09.00 WIB, alarm di handphone saya dan sukma berbunyi. Tapi alarm handphone saya yang lebih saya dengar karena letaknya tepat di telinga kiri saya. Tapi saya baru benar-benar bangun beberapa menit kemudian, selanjutnya saya membangunkan anak-anak yang satu tenda bareng saya, Sukma, Tiar dan Erwin. Bang Dimas dan bang Dian yang tidur di tenda depan saya, saya panggil-panggil dengan berteriak, malas untuk keluar tenda karena di dalam tenda pun dinginnya sangat terasa. Selanjutnya kang Wawan yang saya panggil di tenda sebelah kiri saya. Semua sudah menyahut, kami bersiap-siap, memeriksa peralatan, mengumpulkan lagi motivasi dan semangat yang sedikit luntur karena tidur lelap kami tadi. Kami luruskan motivasi menjamah Mahameru, mengesampingkan angkuh dan sombong.
Kami berenam berkumpul membentuk lingkaran seperti biasanya, berdo’a. Kali ini bang Dimas menyuruh saya yang memimpin do’a. “Malam ini kita menghampiri mahameru, semoga Mahameru sudi bersahabat dengan kita, semoga Mahameru mengizinkan kita bersujud di puncaknya. Berdo’a menurut agama dan kepercayaan masing-masing, berdo’a mulai”, begitu kurang lebih kalimat pengiring do’a dari saya. Selanjutnya bang Dimas: “apapun yang terjadi kita harus tetep bareng. Dian lo di depan nyari trek, lanjut Yogie, Sukma, terus Erwin, Tiar, gw di belakang jagain. Inget siapa di depan dan belakang kita. Kalo capek langsung ngomong biar kita berhenti barengan”.
Kami bergabung ke rombongankang Wawan dan yang lainnya. Entah berapa orang jumlah kita akhirnya saat itu saya ga tau.Berdo’a dimulai lagi. Kang Sablu yang memimpin: “Ingat, kita satu tim. Jangan dipaksain kalo cape atau gak kuat bilang”. Kami semua berangkat, kami berenam berada di tengah-tengah diantara rombongan kang Wawan dan temannya.
Melewati satu-satunya shelter di Kalimati, lalu jalanan menurun sedikit melalui sungai bekas aliran lahar Mahameru.Dari sana jalanan tak ada lagi yang menurun. Semuanya benar-benar menanjak bahkan jauh lebih terjal dari Tanjakan Cinta. Ditambah lagi akar-akar pepohonan yang banyak melintang di jalur yang kami lalui menjadi tambahan penghambat langkah kami. Sering kami harus saling mengulurkan tangan untuk menarik kawan yang ada di bawah kami masing-masing. Terutama Sukma, karena dia satu-satunya wanita di rombongan kami, lebih sering harus ditarik menaiki gundukan-gundukan tanah yang tinggi. Kang Sablu dan 2 orang yang saya tidak tahu namanya di depan berjalan sedikit lebih cepat dan gesit dari kami berenam. Saya dibelakang mereka bertiga menjaga jarak agar yang depan tidak terlalu cepat dan yang di belakang tidak tertinggal. Berkali-kali saya harus berteriak ke depan supaya memperlambat langkah mereka, karena di belakang saya sering tertinggal. Tepat di belakang saya Tiar yang sekali-kali menuntun Sukma, dilanjut Erwin, bang Dian dan bang Dimas. Di belakang kami sisa rombongan kang Wawan dan teman-temannya kelihatannya sedikit terhalang oleh kami yang istirahat lebih sering dari mereka.
Tebal pakaian yang kami pakai karena suhu dari Kalimati saja sudah benar-benar dingin. Saya pribadi memakai 2 kaos dan 2 jaket tebal lengkap dengan tudung kepalanya, 1 kupluk dan 1 celana PDL. Karena pakaian kami yang tebal, ditambah pasokan oksigen yang makin tinggi makin berkurang, dan trek yang kami lalui sangat terjal, membuat nafas lebih cepat habis, jantung terpompa lebih kencang dari biasanya. Energi pun lebih cepat terkuras, konsumsi air jadi lebih banyak. Tidak berapa lama, yang kami takutkan terjadi. Tiar mengeluh sesak, dan diperlukan bantuan oksigen. Kami pun ikut menggunakan moment tersebut untuk beristirahat, karena jujur kita semua kelelahan. Tiar yang tadinya menuntun Sukma terpaksa harus sedikit dituntun, alhasil Tiar dan Sukma harus sedikit dituntun, dan kami melakukannya bergantian.
Pukul 00.30 kita sudah melewati Arcopodo, lahan terakhir yang bisa dipakai camp. Katanya banyak yang mendirikan tenda disini, tapi malam itu saya tidak melihat atau mungkin tidak sempat melihat satu tenda pun berdiri, mungkin karena gelap atau pikiran saya sedang fokus ke hal lain. Disini istirahat kami bersama rombongan yang terakhir (seingat saya), karena saat itu kami berenam memutuskan melanjutkan lebih dulu karena yakin akan tersusul lagi, lebih-lebih tidak ingin rombongan selain kami terhadang oleh kami. Mulai dari sini, koordinasi dengan rombongan selain kami berenam tidak sebaik seperti sebelum Arcopodo. Dan celakanya, justru trek di Arcopodo ini lebih sulit lagi. Selain jalur yang terjal dan akar-akar yang banyak melintang, jalur di sekitar Arcopodo ini lebih sempit lengkap dengan jurang di kanan kirinya, dan juga mulai berpasir karena semakin dekat dengan Cemoro Tunggal, pohon terakhir di perbatasan vegetasi dan pasir Mahameru.
Benar saja, kami berenam tersusul lagi oleh sebagian rombongan kang Wawan tadi. Kang Sablu yang mendahului kami dan yang lainnya berinisiatif memasang tali webbing untuk membantu anggota rombongan yang lainnya dan saya juga dihadiahi 1 tali webbing, “untuk jaga-jaga” kata kang Sablu. Di perbatasan vegetasi inilah kami berenam benar-benar terpisah dengan rombongan kang Wawan. Tapi tak mengapa, toh yang paling penting kami berenam tidak terpisah. Tepat di Cemara Tunggal, tempat terakhir kami melihat kang Sablu, kami berenam beristirahat banyak karena kondisi Tiar mulai down lagi. Kami mempersilahkan rombongan yang lain lebih dulu.
Dari Cemoro tunggal, melihat ke atas dan kebawah yang terlihat hanya sinar-sinar lampu senter atau headlamp yang menyala berjejer rapih. Indah, cantik tapi membangkitkan kekhawatiran di diri saya sendiri. Ramai sekali di jalur pasir ini. Pemandangannya saja terlihat seperti semut sedang berjejer dan bersalam-salaman,  hanya saja kali ini semutnya bercahaya seperti kunang-kunang.
Kami meyakinkan dan mengasah lagi motivasi masing-masing kami terutama Tiar. Kami meyakinkan Tiar kalau kita mampu. Dengan sedikit dorongan, Tiar pun menganggukan kepala dan mengacungkan jempol tanda dia siap lagi.Komando diambil alih lagi oleh bang Dimas, setelah sebelumnya kami dikomandoi oleh kang Sablu.  Bang Dian berjalan lebih dulu, dilanjutkan Erwin dengan sedikit menuntun Tiar, lalu saya, Sukma terakhir bang Dimas.
Trek kali inilah yang benar-benar bisa disebut trek. Jalur yang terdiri dari pasir bercampur kerikil-kerikil kecil yang sesekali dan hampir sering masuk ke dalam sepatu. Setiap melangkah, pasti kaki harus masuk 10cm lebih ke dalam pasir karena sifat pasir yang labil. Benar-benar menguras tenaga, pikiran terutama hati. Karena setiap melangkah 2 atau tiga langkah kami harus merosot lagi sejauh 1,2 atau 3 langkah bahkan lebih sampai 1-2 meter. Disini saya mulai mempertanyakan brand sepatu saya yang selalu saya bangga-banggakan itu. “Semoga sepatu gw gak jebol” harap saya cemas. Karena disamping kecewa, nasib kaki saya yang saya khawatirkan saat melaluii jalur seperti ini dengan sepatu yang rusak.
Kami melanjutkan pendakian dengan kondisi badan lebih membungkuk untuk menghindari merosot terlalu jauh, kami pun harus lebih sering merangkak daripada berdiri. Setelah melewati kira-kira setengah jalur pasir, kami berhenti total. Tiar benar-benar tidak sanggup lagi berjalan. Sepertinya kakinya tidak kuat lagi menopang badannya, lemas katanya. Kami beristirahat lebih lama. Tiar bilang dia tidak kuat lagi melanjutkan. Tapi tim tidak meninggalkan Tiar begiitu saja, dan tidak mungkin harus kembali lagi ke Kalimati karena kami sudah setengah jalan. Bukan tidak mungkin kembali, lebih tepatnya terasa sia-sia kalau harus menyerah setelah setengah jalan kami berhasil lalui. Ditambah lagi jalur seperti ini tidak mudah pula untuk dituruni, harus juga berpapasan dengan orang-orang yang sedang naik, dan juga sumber penglihatan kami hanya dari cahaya senter dan headlamp yang kami gunakan. Jadi, kesimpulannya lebih baik meneruskan dari pada harus turun lagi. Bagaimana dengan Tiar?. Itu prioritas utama tim saat itu. Tiar akhirnya “diderek”, dengan mengikatkan tali webbing pemberian kang Sablu ke pinggang Tiar lalu diikatkan ke pinggang Erwin, dan Erwin yang bertugas menarik badan Tiar, saya menuntun Sukma, bang Dian membawa daypack berisi air dan obat-obatan. Bang Dimas yang sibuk mengawasi dan mengantisipasi segala kemungkinan yang ada.
Perjalanan berlanjut hingga beberapa puluh meter, Erwin angkat tangan. Dia bilang tak kuat lagi harus menarik badan Tiar. Kami beristirahat lagi. Masalah bertambah ketika kami mengetahui di botol minum kami hanya tersisa sedikit air saja. Sebenarnya masih ada 1 botol besar lagi di daypack yang dibawa bang Dian, tapi itu adalah persedian terakhir air kami sampai nanti turun ke Ranugumbolo. Jadi, kalau air itu habis sekarang, kami tidak akan bertemu air lagi sampai turun ke Ranugumbolo. Pengaturan air yang sudah ketat sekarang semakin diperketat. Jatah kami sampai puncak hanya 1 botol besar air mineral 1,5 liter yang berisi air tidak lebih dari setengahnya, botol minum saya yang tidak lebih dari 1 liter, dan botol minum bang Dimas yang juga kecil. Dan perjalanan pun berlanjut, dan bang Dimas yang akhirnya men”derek” Tiar. Dengan sisa tenaga dan air yang kami miliki, kami melanjutkan berjalan lebih merangkak menuju puncak Mahameru.
Di tengah-tengah perjalanan, urutan tepat kejadiannya saya benar-benar lupa apakah sebelum atau setelah tiar “diderek”. Kami mendapati ada orang jauh di bawah kami membakar petasan kembang api. Bagi saya itu tindakan terkonyol, terbodoh sekaligus paling tidak masuk akal. Ditengah lelahnya para pendaki yang sedang fokus meniti jalan untuk mencapai puncak, dia atau mereka sempat-sempatnya membuyarkan konsentrasi para pendaki dari ledakan petasan yang mereka buat. Bodoh.
_________________________________________________________________________________

Waktu di jam Sukma sudah hampir menunjukan pukul 03.00 WIB, tapi kami masih belum mendengar ada tanda-tanda puncak Mahameru sudah dekat.Jalur menjadi semakin berat, karena beberapa kali kami harus membagi fokus lagi untuk menghindari batu-batu jatuh dari atas. Mungkin karena para pendaki sudah sangat lelah, jadi banyak dari mereka yang tidak fokus dan tidak sengaja menginjak batu yang akhirnya membuat batu itu menggelinding ke bawah, itulah yang harus kami hindari.
Sukma meminta istrirahat lagi. Saya dan Sukma berada di urutan paling belakang dari tim. Mereka berempat terpisah lebih dulu di atas kami berdua, terutama bang Dian yang sepertinya tidak ada lelahnya. Sukma minta diberikan lagi air, saya memberikan botol minum pada Sukma. “basahin bibir aja yah”, seperti itu pengaturan air yang saya buat. Karena sebenarnya haus yang kami rasakan lebih dikarenakan debu yang membuat tenggorokan kita kering, maka ketika haus saya memaksa anak-anak untuk menahannya. Kalau sudah benar-benar tidak kuat baru saya kasih botol minum saya, karena itu jatah air terakhir untuk saat itu. Beruntungnya botol minum saya didesign dengan lubang keluarnya air yang sempit, sehingga ketika botol saya dibalik, air yang keluar hanya berupa tetesan. Untuk meminumnya, kami harus menempelkan bibir kami dan menyedotnya. Jadi, saat itu kami yang ingin minum, harus menempelkan ujung lubang air botol saya lalu mengoles-oleskannya di seluruh bibir, setelah itu baru disedot dengan jatah satu sedotan pendek lalu dikumur-kumur, baru setelah itu kami boleh menelannya. Pengaturan yang saya buat itu sedikit menyelamatkan kami. Karena pada akhirnya air pun tetap habis. Tapi setelah anak-anak sedikit memohon, akhirnya bang Dimas mengizinkan untuk mengisi lagi botol minum saya dengan persediaan air yang ada di daypack bang Dian, dan itu benar-benar yang terakhir. Karena setelah itu, botol minum saya serahkan ke Erwin karena tahu konsumsi minum Sukma lebih banyak dari yang lainnya. Dan demi kebaikan bersama-sama pula, botol minum saya percayakan ke Erwin. Saya tidak terlalu bermasalah, karena saya, bang Dimas dan bang Dian termasuk jarang minum, kami bertiga sedikit lebih bisa mengatur konsumsi air kami. Tapi setelah beberapa kali beristirahat saya perhatikan, air yang saya percayakan ke Erwin tetap saja berkurang lebih banyak. Ya sudahlah, toh sama saja akan habis juga. Dan air pun benar-benar habis. Tidak ada lagi jatah air untuk kami.
Putus asa mulai menjangkiti kami. Diperburuk lagi persediaan air terakhir hanya setengah botol yang ada di daypack bang Dian. Pikiran kami benar-benar bercampur aduk. Perjalanan ini sepertinya tidak berujung. Rasa bosan, jenuh, lelah, benar-benar menguras tenaga kami habis, tinggal semangat yang tersisa. Intensitas istirahat kami lebih banyak, berjalan 2-3 langkah berhenti. Kami berjalan bukan lagi dengan tenaga, kami berjalan dengan sisa-sisa semangat yang kami masih miliki.
Sudah jam 5 lebih, langit mulai sedikit menunjukan warnanya. Fajar sudah menyingsing. Tapi sepertinya kami masih jauh dari puncak. Tim mulai terpisah lagi, tanpa sadar ternyata bang Dimas yang menuntun Tiar sudah berada di jalur sebelah kanan, begitu juga Erwin dan bang Dian. Saya masih berada di jalur sebelah kiri bareng Sukma. Kami terpisah oleh batu besar yang memanjang ke atas. Ingin menyusul ke seberang kanan, tapi sepertinya tak sanggup, akhirnya saya memutuskan melanjutkan di jalur sebelah kiri.
Langit sudah semakin terang, tapi matahari pagi belum muncul. Motivasi mulai tinggi lagi, karena dari atas terdengar teriakan “puncak...puncak...”. Entah halusinasi, atau mungkin orang di atas hanya memotivasi kami yang masih di bawah, tapi jujur itu memotivasi saya pribadi untuk lebih cepat lagi berjalan. Samar saya lihat sekitar 50 meter ke atas saya ada batu besar, dan secara sepihak saya berpendapat kalau di balik batu itu adalah puncak Mahameru. Lagi, saya memotivasi Sukma yang semakin lemas, “mau lihat sunrise di puncak?”, saya memotivasi Sukma. Sukma hanya mengangguk. Jarang dia bicara, selain “istirahat donk”, “air”, “break", “masih jauh ga sih”, kata-kata itu yang lebih sering dia keluarkan.
Bang Dimas masih setia menuntun Tiar, Erwin sesekali berhenti tanpa terlihat menengguk air (karena air kami sudah habis), bang Dian masih seperti biasa berada di depan semua anggota Tim. Dan sedikit di atas saya, satu jalur sama saya dan Sukma, saya melihat orang memakai jaket kuning terang yang sepertinya saya kenal, kang Darwis (tapi waktu itu saya juga belum tahu namanya kang Darwis). Kelihatannya kondisinya tidak jauh berbeda dengan kami, berjalan 2 langkah lalu berhenti, berjalan lagi 3 langkah lalu berhenti lagi, bedanya kang Darwis tidak duduk waktu berhenti, katanya lebih susah lagi kalau isitirahat sambil duduk. Saya sedikit mempercepat langkah ingin menyapa dulur yang dari tadi malam terpisah. Setelah dekat, saya langsung memegang kaki kang Darwis, karena begian tubuh yang paling dekat yang bisa disentuh itu kakinya kang Darwis. Kang Darwis menoleh dan terlihat sumringah melihat masih ada kawan yang bareng dia. Karena kang Darwis juga terpisah jauh dari rombongan yang sudah jauh lebih dulu meninggalkan kang Darwis. Kami pun berjalan berbarengan bertiga, tapi tanpa saya sadari, kang Darwis tertinggal lagi di bawah saya dan Sukma, tapi tidak terlalu jauh hanya beberapa meter saja di bawah kami.
Langit semakin terang, semburat warna langit yang menguning menandakan beberapa menit lagi matahari sudah akan hadir, tapi batu besar yang menjadi tujuan kami tadi masih saja sebatas penglihatan, kami bahkan belum mendekati, masih terlihat berpuluh-puluh meter lagi kami bisa sampai disana. Mulai lagi berputus asa, kami beristirahat lagi di batu yang bisa untuk bersandar. “gak akan ngeliat sunrise di puncak”, saya pikir. Saya mengeluarkan canon 1100D milik Tiar dan Erwin yang entah sejak kapan saya bawa, karena sebelumnya, seingat saya Sukma yang menenteng tas kamera  ini. Mungkin bergantian saya yang akhirnya menenteng tas kamera, tapi saya lupa sejak kapan. Yang jelas saya tidak mau melewatkan panorama yang satu ini. Tidak apa-apa kalau saya tidak menyaksikan matahari terbit dari puncak Mahameru, tapi saya tidak mau melewatkan panorama matahari terbit meski hanya di punggung Mahameru. Saya mulai mengambil beberapa foto sembari beristirahat. Baru sadar saya, ternyata pemandangannya luar biasa. Gumpalan awan berada tepat di bawah kami, panorama yang jarang sekali ditemui.


Sunrising di punggung Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D. Edited, cropped and mixed by gie.


Sukma, latar suasana jalur pasir Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D.


Darwis dan suasana jalur pasir Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D.

Sedikit menikmati keindahan panorama yang ada, cukup mengobati kelelahan yang ada tapi tidak mengembalikan tenaga yang sudah habis berceceran dari kalimati sampai tempat kami berdiri saat itu. Kami melanjutkan lagi perjalanan meski dengan tertatih-tatih, karena langit sudah benar-benar terang. Kami mengkhawatirkan matahari yang nanti akan semakin meninggi, suhu pasti akan terasa jauh lebih panas, debu akan semakin banyak karena pasir sudah tak lagi lembab oleh dingin, ditambah lagi kalau terlalu siang sampai di puncak dikhawatirkan angin sudah berubah arah menuju arah kami membawa gas beracun dari kawah junggring saloko, dan saya pribadi tidak mau perjalanan hanya terhenti sampai disini. Jadi, saya sedikit memaksa Sukma untuk tetap lanjut waktu dia bilang “gak kuat lagi”. Saya sudah kehabisan motivasi untuk Sukma, yang bisa saya bilang ke Sukma tinggal kalimat “tanggung, sebentar lagi, sayang kalo gak sampe puncak”.
Tiba-tiba saja bang Dimas dan yang lainnya berhenti di seberang kanan. Terlihat bang Dimas meringis, bukan kesakitan, tapi dia bilang dia tidak kuat lagi menuntun Tiar. Erwin pun terlihat putus asa. Singkat cerita, akhirnya Tiar dan Erwin memutuskan tidak melanjutkan lagi, dan bang Dimas melanjutkan setelah beberapa menit beristirahat. Saya pun memutuskan untuk lanjut pastinya. Dengan sedikit lagi memaksa Sukma  untuk tetap lanjut kami pun melanjutkan pendakian, meski hanya tersisa saya, Sukma, bang Dimas, bang Dian, kang Darwis yang semakin jauh tertinggal, dan beberapa pendaki lainnya.
Semakin siang, pasir tak lagi lembab yang menyebabkan pasir semakin labil dan semakin banyak batuan yang berjatuhan, parahnya yang berjatuhan kini semakin besar-besar saja. Diperparah lagi sudah banyak pendaki yang berhasil mencapai puncak sebelum sunrise mulai turun untuk pulang. Karena saat turun, langkah kaki akan lebih cepat dan menyebabkan debu berterbangan lebih banyak dan banyak batu yang tidak sengaja terinjak dan akhirnya menggelinding lagi ke bawah. Kesal sebenarnya, karena banyak dari mereka yang turun tidak toleransi terhadap kami yang masih berjuang untuk mencapai puncak. Tapi apa daya, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ada orang tinggi besar memakai jaket merah,  sepertinya dia juga terpisah dari rombongannya, beberapa kali harus meloncat-loncat untuk menangkap batu yang jatuh dari atas. Terhitung 3 kali saya lihat dia meloncat untuk menangkap batu yang rata berukuran sebesar kepala orang dewasa. Salute to him.Bahkan, sempat satu kejadian yang sangat saya ingat. Sedang fokusnya semua pendaki terhadap Mahameru, terdengar teriakan yang sangat kencang dari arah atas, “batu..awas batu”. Secara serentak semua kepala menengadah ke atas, mencari-cari dari arah sebelah mana batu datang. Tak terlalu susah mencarinya, karena ukuran batu yang jatuh kali itu 4 kali lebih besar dari kepala orang dewasa, jadi, tidak terlalu sulit untuk melihatnya. Masalahnya lebih besar lagi, karena batu besar itu tidak menggelinding seperti biasanya, tapi memantul-mantul seperti permainan bouncing di ponsel polyphonic generasi pertama. Hal itu menyebabkan semua pendaki tidak bisa memprediksi ke arah mana batu itu akan jatuh, dan kami pun tidak bisa langsung menghindar seperti biasanya. Di jalur sebelah kiri, saya, Sukma, bang Jejen dan pendaki lainnya di jalur kami diam terpaku berjaga-jaga kalau batu besar itu akan memantul ke jalur kami, karena memang batunya memantul-mantul di jalur sebelah kanan kami, jalur bang Dimas dan lainnya. Sedangkan bang Dimas, saya lihat sudah bersiap-siap untuk menghindar jika batunya memantul tepat ke arahnya. Dan BRAAKKKK, saya lihat batunya membentur batu lain yang lebih besar dengan kerasnya, tepat sekitar 2 meter di depan wajah bang Dimas. Tidak tahu seperti apa pastinya perasaan bang Dimas, yang jelas saya pribadi yanghanya melihat dari kejauhan dag dig dug tidak karuan. Terlebih batu terbelah jadi 2 pasca benturan, semakin menyulitkan bang Dimas untukmenghindar. Tapi syukurlah bang Dimas selamat, meski ada seorang wanita yang sedikit terluka kakinya karena kejadian tadi, entah bagaimana ceritanya saya tidak menanyakannya. Dia butuh plester untuk lukanya, saya tawarkan 1 untuknya.


Matahari sudah meninggi di punggung Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D. Edited, cropped and mixed by gie.


Beristirahat. Photo by Dimas, Edited and cropped by gie..


Tiar dan pendaki lain di jalur pasir Mahameru. Photo by Dimas, Edited and cropped by gie..

Singkat cerita lagi, kami sudah sampai di batu besar yang menjadi target kami tadi, tapi ternyata puncak tidak berada tepat di balik batu tadi. Masih jauh lagi kami harus berjalan menuju puncak Mahameru. Sempat juga kami berpapasan lagi dengan orang-orang yang satu rombongan dengan kami dari Kalimati, tapi kami hanya bertegur sapa seadanya karena memang tidak terlalu kenal. Baru ketika berpapasan dengan kang Wawan dan kang Sablu kami berbincang sebentar, bertanya-tanya tentang jarak sampai ke puncak. Sebentar lagi katanya, tapi kang Wawan menyuruh untuk melanjutkan, “omat, kudu nepi ka puncak nya gie”, begitu kata kang Sablu. Mereka meneruskan turun dan kami meneruskan naik, tidak lupa kami meminta air karena sudah berjam-jam lamanya kami tidak minum, tapi ternyata air mereka pun sudah habis tadi di puncak. Tidak lama kemudian kami berpapasan lagi dengan 3 orang dari bogor, kata-kata mereka bertiga yang membuat down saya, “huuuuhhh...jauh keneh gie, aya meureun kana sajam deui  mun teu loba istirahat mah”. Benar-benar down saya dibuatnya. Sebelum mereka turun saya mengemis air ke mereka, biar cuma seteguk juga. Salah satu dari mereka membuka daypacknya lalu mengeluarkan sebotol penuh air 1,5 liter, dengan sigap saya mengambil lalu meminum sedikit airnya, karena tetap saja mereka juga masih butuh untuk mereka sampai ke Ranugumbolo. Sehabis saya, saya kasih ke Sukma yang pastinya sama kehausan juga, tapi saya menyuruhnya untuk minum sedikit saja. Setelah saya kembalikan botol minum mereka, tapi mereka menyuruh saya menyimpannya, “geus bawa weh, urang mah aya keneh”. Baiknya, saya pikir sambil berkaca-kaca dalam hati, seketika itu juga saya melihat mereka seperti malaikat, meski beberapa saat yang lalu saya sempat kesal terhadap mereka bertiga. Kami berterima kasih, dan mereka melanjutkan perjalanan turun mereka. Akhirnya saya melihat sekeliling saya, mencari-cari bang Dimas, bang Dian dan kang Darwis yang pasti kehausan juga, hendak menawarkan air ceritanya. Tapi bang Dimas mengacungkan jempol tangan kanannya, masih ada katanya. Bang Dian entah kemana tidak terlihat, kang Darwis pun masih jauh belasan meter di bawah saya. Akhirnya saya menawarkan orang berjaket merah yang tadi menangkap batu berkali-kali, Jejen namanya. Dia minum sedikit, lalu saya menawarkan lagi ke 2 orang lain di sekitar saya. Mereka berduan yang tidak tahu diri, mentang-mentang ditawari, mereka meminum airnya dengan rakus. Alhasil, air pun tersisa tinggal setengahnya kurang. Saya maklum, dan kami melanjutkan lagi perjalanan.
Singkat cerita, puncak sudah terlihat beberapa belas meter lagi di atas saya dan Sukma. Bang Dimas dan bang Dian sudah disana lebih dulu. Saya meminta Sukma melihat jam, setengah sembilan katanya. Pantas saja, panasnya sangat terasa. Air tinggal tersisa sekitar 2 cm lagi dari dasar botol, kang Darwis sudah tidak terlihat lagi, tinggal saya berdua sama Sukma, dan kami harus benar-benar sampai puncak. Tapi ternyata jarak belasan meter tidak semudah seperti apa yang dibayangkan. Butuh waktu berrpuluh-puluh menit lagi untuk mencapainya.
And finally, saya dan Sukma melewati 2 batu besar yang seakan berperan sebagai gapura selamat datang bagi para pendaki yang berhasil mencapai puncak, hanya saja kurang tulisan “Congratulation... You’re on top of Mahameru”. Sukma meminta air, saya berikan botol air terakhir, saya suruh Sukma untuk menghabiskannya (padahal saya juga haus :))). Bang Dimas dan bang Dian menyambut kami berdua. Perasaan haru memuncak di ubun-ubun saya. Akhirnya, saya ditemani Sukma berhasil berdiri di tanah tertinggi pulau jawa. Impian saya dari setahun lalu, rencana yang sempat gagal beberapa kali akhirnya terwujud meski alur cerita yang berbeda. Tangis haru hampir tumpah, tapi bang Dimas mencegahnya lebih dulu. “Sekarang udah jam 9 lewat seperempat, lo berdua ada waktu 15 menit untuk foto-foto, abis itu langsung turun, takut asap beracunnya naik”, itu kata-kata bang Dimas yang menahan air mata haru saya jatuh. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengajak Sukma untuk foto-foto. Dengan perasaan was-was mengenai gas beracun, saya langsung memilih 2 spot untuk melakukan photo session di puncak Mahameru. Sedangkan bang Dimas dan bang Dian turun lebih dulu untuk melihat keadaan Tiar dan Erwin.
Spot pertama. Karena kepanasan, saya langsung melepaskan 2 jaket tebal beserta kupluk yang saya pakai dari semalam. Banyak kumpulan pendaki yang berhasil mencapai puncak Mahameru dengan sebuah tongkat yang ditancapkan ke dalam tumpukan batu Mahameru sebagai pusatnya. Di ujung tongkat yang hanya sekitar 2 meter saja, berkibar selembar kain yang tak asing lagi bagi warga Indonesia, Sang Saka Merah Putih. Spot itu yang pertama kami ambil. Tidak lama kemudian, sebuah suara angin menyeramkan yang dari semalam kami dengar, kini terdengar lagi dan lebih keras suaranya. Suwara Suwitan Lubang Kaldera, begitu orang-orang menyebutnya. Lalu disusul oleh semburan asap dari kawah Junggring Saloko, sisi selatan Mahameru. Pemandangan indah yang juga tidak ingin saya lewatkan, saya pun mengambil beberapa foto Sukma dengan latar belakang semburan asap kawah Junggring Saloko.


Sukma di puncak Mahameru, latar semburan asap dari kawah Junggring Saloko. Photo by gie, Canon Eos 1100D.


Cropping dari foto di atas. Edited and cropped by gie..

Spot kedua. Plangbertuliskan “PUNCAK SEMERU 3.676 MDPL”, bukti nyata kami benar-benar berhasil mencapai puncak Mahameru. Setelah itu, saya mengambil beberapa view sebagai obyek foto saya, lalu mengajak Sukma untuk turun. Ancaman gas beracun masih mengiang-ngiang di telinga saya.
Sebelum turun, di batu besar yang tadi saya bilang seakan-akan menjadi gapura selamat datang, saya duduk sebentar untuk membersihkan sepatu yang sudah terisi penuh oleh kerikil sepanjang jalan pasir Mahameru. 

Merah Putih di puncak Mahameru. Photo by Dimas, Edited and cropped by gie..

Suasana puncak Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D. Edited and cropped by gie.


Dimas. Photo edited and cropped by gie..

Ketika hendak turun, sekitar 10 meter lebih ke bawah dari tempat saya berdiri, saya melihat 2 sosok lelaki yang tidak begitu tampan dan juga tidak begitu tidak tampan, tampak bersusah payah melewati rintangan pasir dan kerikil menuju ke arah saya dan Sukma.
Segera saya meraih tangan mereka satu persatu ketika melewati batu besar yang sekali lagi seakan-akan menjadi gapura selamat datang bagi para pendaki yang berhasil mencapai puncak Mahameru. Saya langsung memeluk mereka. Haru benar-benar memuncak lagi kali ini, mata semakin berkaca-kaca, tangis sudah mulai mengalir tapi masih bisa saya bendung karena sedikit gengsi.
Kami pun melakukan sesi pemotretan lagi, tapi hanya di plang bertuliskan puncak semeru saja. Diselangi ritual foto-foto, saya langsung mengambil posisi untuk melakukan sujud syukur. Tangis langsung tumpah bersamaan dengan sujud. Lelah, haus, panas, hilang sekejap oleh haru, bangga, dan bahagia karena kami berenam akan membawa berita yang sangat menggembirakan ini untuk 2 kawan kami yang bermalam di Ranugumbolo. Akhirnya, pengorbanan mereka berdua untuk memilih bermalam di Ranugumbolo tidak sia-sia. We made it, kami berhasil.
Terima kasih Mahameru, perkenankanku bersujud di atasmu..
Terima kasih Tuhan, mempersilahkan kami menyentuh indah cipta-Mu...


Kami di puncak Mahameru

Kami bareng Jejen di Puncak Mahameru. Photo edited and cropped by gie..
_________________________________________________________________________________

Kalimati, Penjaga Setia Kaki Mahameru

Disana, semua keangkuhan mulai dilucuti..
Dan Arcopodo, menyaksikan aku menunggangi Mahameru...
-gie-
_________________________________________________________________________________


13 Agustus 2013, saya sedikit telat bangun pagi itu, mungkin karena kelelahan tadi malam. Yang lainnya pun belum bangun semua, hanya Anis yang saya ingat sudah asik mengotak-atik kompor, memasak air sepertinya. Bang Dimas dan bang Dian juga saya dengar udah sibuk beradu mulut, tanda mereka sudah bangun.
Tayamum, shalat shubuh, dan saya langsung keluar menikmati segarnya udara Ranugumbolo. Dan benar perkiraan saya, karena bangunnya kesiangan, udara terasa lebih dingin. Alhasil, jaket, kupluk, sarung tangan dan kaos kaki saya kenakan kembali. Tapi tetap saya harus keluar, percuma kan jauh-jauh kesini kalau hanya untuk tiduran saja, mending juga di rumah.
Saya mulai berkeliling-keliling, mencari tempat kang Darwis, kang Wawan dan kang Sablu mendirikan tenda. Ternyata tenda mereka tidak begitu jauh dari tenda kami, hanya berjarak sekitar 15 meter saja. Sapaan dan obrolan pun dimulai lagi, topik utama perjalanan dari ranupane sampai Ranugumbolo tentunya. Tidak lama kemudian, setelah anak-anak bangun semua, ritual wajib pun dimulai, foto-foto. Walaupun sunrise tidak menghadap langsung ke tenda kami, karena kami bermalam di camp utara Ranugumbolo, tapi view dan hasil jepretan tidak begitu mengecewakan.
Saat sarapan, rapat digelar. Ini tentang kita akan melanjutkan atau menyudahi saja pendakian kita. Keenam orang kami tanpa bang Dimas dan bang Dian (karena yakin mereka pasti meneruskan) sedikit berbincang tentang pendakian kami. Saat ditanya pendapat saya, saya langsung mengiyakan kalau kita harus turun, karena kepesimisan saya soal anak-anak. Mereka memberikan opsi kalau mereka akan bermalam sekali lagi disana sambil menunggu anak-anak yang mau melanjutkan. Intinya, pemikiran dan opsi-opsi kami tidak ada yang memuaskan, karena dilatar belakangi kepesimisan dan ego yang “sedikit” masih tinggi. Akhirnya, bang Dimas lah yang menjadi pahlawan siang hari kami. “selama masih ada motivasi buat naik, gw yakin kalian bisa”, kurang lebih begitu kata bang Dimas. Satu per satu kami ditanyai, masih ingin dan sanggup naik ke kalimati?. Semua menjawab siap kecuali Diah. Disini kekuatan tim terlihat sekali lagi, (setelah semalam, kekuatan tim lah yang menuntun kami sampai ke Ranugumbolo), semua memberikan motivasi untuk Diah, meyakinkan Diah kalau dia dan semuanya mampu melanjutkan meski hanya sampai Kalimati. Perlahan tapi pasti, motivasi Diah terbangun lagi. Dan semua satu suara, melanjutkan sampai minimal camp di Kalimati.
_________________________________________________________________________________


Tenda mulai dirapikan, barang bawaan dipacking lagi, kita siap menuju kalimati.Kami berdelapan berkumpul membentuk lingkaran kecil, ritual do’a yang kami lakukan rutin sebelum memulai perjalanan. Seperti biasa bang Dimas yang memimpin.

Team berjalan beberapa belasan meter setelah rombongan kang wawan. Tanjakan sekitar 4-5 meter sudah cukup menguras nafas kami. Diteruskan menyusuri tepian Ranugumbolo, menurun, dan sampailah kami di camp utama Ranugumbolo, sisi barat Ranugumbolo. Kami menyempatkan diri untuk berfoto ria di plang bertuliskan Ranugumbolo dan panorama Ranugumbolo sisi barat.
Hendak melanjutkan lagi, Anis mengeluh kurang enak badan, masuk angin sepertinya. Kami meletakkan kembali bawaan kami di salah satu shelter disana, dan Anis yang menjadi prioritas utama kami saat itu. Semua jenis minyak angin dikeluarkan, mulai dioleskan ke leher dan badannya. Saya berinisiatif memijat leher dan telapak tangannya. Anis terlihat kesakitan. Anis memutuskan untuk tidak meneruskan, Diah memutuskan untuk menemani Anis. Kami mendirikan satu tenda untuk Anis dan Diah, mereka akan bermalam lagi di Ranugumbolo. Sedih sudah pasti, tapi sisi baiknya anggota tim lain yang akan meneruskan bisa meninggalkan barang yang tidak diperlukan di Ranugumbolo. Repacking, 3 carrier dan 1 daypack yang akan menjadi bekal sampai ke Kalimati. 2 orang hanya akan membawa 1 tas kamera dan 1 tas P3K, jadi nanti kami bisa bergantian bawaan kalau lelah. Akhirnya, tersisa 6 orang, 5 cowok tidak tampan, bang Dimas, bang Dian, Saya, Erwin dan Tiar, beserta 1 cewek paling cantik diantara kami berlima, Sukma. Pesan Anis dan Diah: “sampai puncak yah!!!”, menjadi motivasi baru bagi kami.


Tanjakan Cinta. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.

Tanjakan cinta, tanjakan mitos sekaligus fokus utama kami sejak sampai di sisi barat Ranugumbolo menjadi sambutan pertama kami. Tidak seperti kelihatannya, justru menurut  saya tanjakan ini yang lebih banyak menguras tenaga kami dalam perjalan menuju Kalimati. Sampai setengah tanjakan, saya berhenti, mengatur nafas tanpa minum, melanjutkan lagi. Bang Dian yang pertama kali sampai di Puncak Kepolo, selanjutnya saya, lalu Erwin, selanjutnya saya lupa. Bang Dimas yang terlihat lebih berusaha, karena bawaan dia paling besar dan paling berat sepertinya. Kami beristirahat sejenak, melihat cantiknya Ranugumbolo dari Puncak Kepolo.


Tanjakan Cinta dan Ranugumbolo dari Puncak Kepolo. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.

Tim, beristirahat sehabis tanjakan cinta. Photo by Erwin. Edited and cropped by gie.



Perjalanan berlanjut, menanjak sedikit dan terlihat dari atas hamparan rumput ilalang terlihat senang menyambut kami. Jalanan turun curam, dan there we are, Oro-oro Ombo, sebidang lapang dipenuhi ilalang-ilalang yang rata-rata setinggi manusia dewasa. Foto-foto sebentar, kami meneruskan lagi menyusuri rumput-rumput tinggi yang sesekali tertiup angin dan menyentuh kami seakan membelai, indahnya.


Oro-oro Ombo. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.

Oro-oro Ombo terlihat dari Cemoro Kandang. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.


Habis rumput ilalang, pohon-pohon cemara tinggi menjulang yang bergantian menyambut kami. Ada tempat lapang yang teduh untuk beristirahat. Kami dan beberapa tim lain menggunakannya untuk beristirahat sebentar. Cemoro Kandang, di belakang kami terlihat beberapa pohon tumbang hangus sisa-sisa kebakaran hutan, kabar yang kami dengar di perjalanan menuju Ranugumbolo. Miris, entah apa penyebabnya tak ada satu pun kami tahu.
Canda dan tawa kami lontarkan untuk mengisi istirahat di Cemoro Kandang. Begitu pun ketika kami lanjutkan lagi perjalanan, kami isi sesekali dengan candaan. Jalanan menanjak yang lumayan menguras tenaga, tapi tidak seterjal Tanjakan Cinta. Banyak pendaki yang kami temui naik atau pun turun. Rupanya pamor Semeru sedang tinggi, uporia 5cm kalau kata kawan saya. Kami sempat bertegur sapa dan berbincang dengan beberapa rombongan, ada yang dari Bandung, Jakarta, Jawa bahkan Padang, turis mancanegara pun banyak kami temui. Bermacam-macam pula, ada yang bersama teman-teman kampus, kampung bahkan bareng keluarga. Ada beberapa anak kecil juga yang diajak mungkin oleh ayah bundanya. Entah apa tujuan mereka. Mungkin mereka bosan dengan tempat-tempat wisata yang biasanya mereka datangi, ingin lebih menantang mungkin, atau “wah, keren juga tuh yang di film 5cm, kita kesana yuk mah, yuk pah”, dan itu semua hanya “mungkin”, jadi tak perlu penyimpulan apa pun.
Di sepanjang jalan tadi banyak kami temui pohon-pohon tumbang melintang menghalangi trek yang kami lalui. Sehingga pihak semeru harus membuat trek-trek baru memutari batang-batang pohon tumbang. Sekitar waktu ashar, kami memutuskan untuk beristirahat di tempat yang agak lapang, di samping tenda milik tim lain. Tiar yang fisiknya sudah melemah lebih dulu langsung mengambil posisi terlentang lalu tidur, bang Dian meminjam hp Sukma untuk memutar musik, Sukma tak lama menyusul Tiar tidur, bang Dimas merebus kentang lalu kemudian tidur juga, saya shalat ashar lalu mencari kesibukan sendiri. Mulai dari memoles-moleskan sunblock bawaan Sukma, membolak-balikan kentang, menambul mie instan mentah-mentah, apa saja yang penting badan terus bergerak karena udara mulai terasa sangat dingin. Info terakhir yang saya dengar di pos Ranupane, udara terakhir yang terukur di Ranupane adalah -3 derajat, bisa dibayangkan dari Ranugumbolo ke atas, suhunya bisa mencapai lebih rendah lagi.
Terlalu lama berhenti saya pikir, akhirnya saya menyimpulkan kalau kentang sudah matang. Anak-anak saya panggil, saatnya mengkonsumsi karbohidrat, karena sarapan tadi hanya sedikit karbohidrat yang masuk tubuh kami. Nikmatnya kentang rebus ala chef Dimas yang resepnya pun sangat mudah, murah dan praktis: nyalakan api, masukkan panci berisi air bersih, masukkan kentang yang hendak direbus, lalu tinggalkan tidur. Sampai ada yang membangunkan kita, berarti kentang sudah siap disantap, hidangkan apa adanya tanpa bumbu-bumbu lain. Mudah, murah dan praktis kan? :D.
Kenyang, kami mulai lagi berjalan, menurun sedikit dan menanjak jauh lebih banyak. Kami berenam tidak pernah berpisah, berjalan bersama, lelah bersama, berhenti pun berbarengan. Posisi saja yang berubah-ubah, kadang siapa yang di depan kadang siapa yang dibelakang. Begitu pun bawaan kami, bang Dimas bergantian membawa daypack yang dibawa bang Dian dan sebaliknya bang Dian membawa carrier paling besar yang dibawa bang Dimas, Tiar menyerahkan tahta carriernya kepada Erwin yang tadinya hanya membawa tas P3K, Sukma tetap membawa tas kamera dan saya tetap membawa carrier saya.
Setelah berjam-jam berjalan dari Ranugumbolo, tanjakan di Cemoro Kandang pun habis kami lahap. Sampailah kami di tanah lapang bernama Puncak Jambangan. Dari sana kami sudah bisa melihat Mahameru berdiri tegak, angkuh dan cantik. Semakin membara pula semangat kami. Ritual wajib dimulai selagi istirahat sejenak, foto-foto dengan background Mahameru. Perjalanan pun dilanjutkan, dari Puncak Jambangan tinggal beberapa puluh menit lagi kami akan tiba di Kalimati.


Mahameru terlihat dari Puncak Jambangan. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.


Matahari sudah mulai malu-malu menyembunyikan wajahnya di ufuk barat, kami pun memasuki wilayah Kalimati. Pemukiman camp pertama kami lewati, kami meneruskan ke pemukiman camp yang kedua, karena kelihatannya lebih nyaman di tanah terbuka. Kami melihat kang Darwis sedang duduk sila di pinggir lapangan sembari menyantap camilan seadanya. Sedangkan kang Wawan dan kang Sablu sedang sibuk membereskan tenda kemah dengan beberapa teman barunya dari rombongan lain. Kami menyapa dan langsung mendirikan tenda karena hari sudah mulai gelap.
Bang Dian memasak sarapan sore kami, sisanya mempersiapkan bawaan untuk summit attack kami nanti malam. Setelah berkoordinasi dengan kang Sablu, 3 rombongan (kami, kang Wawan beserta rombongan, dan rombongan teman mereka bertiga) akan melakukan summit attack pada pukul 10.00 WIB.
Seusai berjama’ah shalat jama’ maghrib dan isya’ bersama kang Sablu, saya langsung bergabung untuk sarapan sore kami dan langsung dilanjutkan tidur, persiapan fisik untuk summit attack. Alarm di handphone saya dan sukma dinyalakan. Dengan harapan dan do’a semoga Mahameru bersahabat dengan kami, dan kami pun memaksakan diri untuk tidur.
_________________________________________________________________________________