Aku merindukan lagi masa..
Dimana hanya ada aku, kamu dan Mahameru…
-gie-_________________________________________________________________________________
Di bab terakhir ini tidak terlalu banyak cerita yang bisa saya sampaikan.
Perjalanan
turun ternyata tidak jauh lebih mudah dari perjalanan naik yang kami lakukan selama
lebih dari 11 jam, terhitung kurang lebih dari pukul 22.00 WIB sampai 09.15
WIB, meskipun jauh lebih cepat. Dan akhrinya, kami berenam meninggalkan puncak
Mahameru, siap membagi cerita kepada Diah dan Anis, kepada keluarga dan
kawan-kawan di rumah.
Perjalanan turun ke Kalimati. Tampak sebelah kanan atas, Kalimati.
Ditambah juga
bang Jejen, teman kehausan, pria berjaket merah yang tadi saya cerita dia
beberapa kali harus melompat untuk menangkap batu-batu yang jatuh, kami
menapaki lagi punggung Mahameru, tapi kali ini menurun. Di puncak tadi kami
bertemu bang Jejen dan sempat berfoto bersama juga.
Pasir dan kerikil
di punggung Mahameru benar-benar sudah tidak lembab lagi. Itu sedikit membantu
kami untuk turun. Sekali melangkah kami bisa merosot 1 sampai 2 meter, jadi
kami bisa mempercepat jalan turun. Tapi masalahnya debu yang dihasilkan pun
lebih banyak. Ditambah lagi ketika merosot kaki merembas lebih dalam ke dalam
pasir, sehingga kadang membuat kami terjatuh dan kerikil masuk lebih banyak ke
dalam sepatu. Tapi tak apa, haus yang mendorong kami untuk terus berjalan lebih
cepat.
Setengah jam
lebih kami sudah melewati jalur berpasir Mahameru melewati cemoro tunggal,
perbatasan vegetasi dan jalur pasir. Dari sini tim terpisah. Saya, Sukma dan
bang Dimas lebih dulu, dan yang lainnya di belakang kami bertiga.
Memasuki Arcopodo
perjalanan justru makin sulit. Jika tadi di jalur pasir kami tinggal merosot
saja, dari sini kami harus berjalan seperti biasa lagi dengan kaki menahan
beban lebih, karena ketika menurun seluruh beban akan bertumpu pada kaki.
Diperparah, jari-jari kaki sangat sakit karena terdapat banyak kerikil di dalam
sepatu.
Seingat saya,
kami melewati dua batu nisan yang semalam juga kami melewatinya. 2 orang yang
mungkin meninggal atau menghilang di semeru. Tapi, makam Soe Hok Gie yang saya
cari, kami tidak melihatnya. Menurut kabar nisannya sudah dipindahkan ke bawah,
atau memang mungkin tidak pernah berada disana. Kami beristirahat sebentar
sebelum area camp Arcopodo,
berfoto-foto sebentar sambil mengistirahatkan kaki.
Selagi kami beristirahat, nikmat Tuhan yang kalian
dustakani. Bang Jejen menyusul kami, ikut beristirahat dan memberikan 1 kaleng
minuman rasa jeruk. Kami bertiga membagi minuman rasa jeruk yang tersisa
setengahnya itu. Benar-benar nikmat, sedikit mengurangi rasa haus kami. Kami
bertiga melanjutkan turun lagi, sedangkan bang Jejen memilih beristirahat lebih
lama lagi. Tidak banyak lagi yang bisa saya ceritakan di perjalanan turun
menuju Kalimati, karena memang tidak banyak yang saya ingat. Konsentrasi sudah
benar-benar hilang, serasa seperti mayat hidup berjalan tanpa ingatan. Seingat saya,
hanya melewati camp Arcopodo yang
ternyata ada beberapa tenda didirikan disana, tapi semalam saya tidak sempat
melihatnya karena mungkin gelap dan terlalu fokus. Dan cerita saya singkat
lagi, kami bertiga sampai di Kalimati, di tenda kami. Bang Dian sudah lebih
dulu ada disana. Kurang ingat juga kejadian-kejadian disana. Yang saya ingat,
Erwin dan Tiar akhirnya datang, lalu semua anggota tim tidur kecuali saya yang
susah untuk tidur waktu itu. Dan saya menunggui mereka tidur dengan mengobrol
bersama kang Wawan dan kang Sablu yang lebih dulu turun, serta kang Darwis yang
akhirnya memutuskan tidak meneruskan sampai puncak. Itu yang saya ingat di
waktu itu. Maaf, ingatan saya tercecer lagi sepanjang puncak Mahameru sampai
Kalimati.
Sepatu yang membawa gw ke puncak Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D. Edited by gie.
_________________________________________________________________________________
Selepas shalat jama’
ashar dan dluhur, kang Sablu dan 2 kawannya sudah siap untuk turun ke Ranugumbolo.
Tidak ingin sendiri, saya membangunkan anak-anak untuk bersiap-siap juga untuk
turun. Bukan tidak kasian saya melihat mereka terlelap kelelahan, hanya saja
waktu yang semakin sore.
Semua bersiap-siap,
tenda dilipat, semua barang bawaan sudah masuk kedalalm carrier masing-masing. Persediaan air kami sudah terisi penuh lagi.
Sewaktu anak-anak tidur tadi, kang Wawan memberikan 1 derigen air penuh untuk
kami, lumayan cukup untuk turun ke Ranugumbolo.
Kami pun berangkat
menuju Ranugumbolo, membawa sejuta cerita haru tentang Mahameru.
Dalam perjalanan
pulang, tidak ada hambatan yang berarti, tidak banyak juga cerita yang bisa saya
ceritakan, karena memang datar-datar saja. Seperti seharusnya kami melewati
puncak Jambangan, tempat terakhir kami bisa melihat Mahameru, kami berhenti
sekejap untuk mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan untuk Mahameru.
Selanjutnya jalanan menurun. Sesekali kali kami berpapasan dengan pendaki yang
menuju Kalimati. Kami memberikan semangat seperti yang pendaki lain berikan kepada
kami sewaktu naik.
Hari sudah mulai
gelap, suhu mulai mendingin, dan suasana mistis terasa lagi saat kami memasuki
hutan cemara antara puncak Jambangan dan Cemoro Kandang. Sesampainya di Cemoro
Kandang, kami beristirahat sebentar. Mengeluarkan senter dan headlamp yang akan membantu kami
menerangi jalan, sedangkan saya menyempatkan diri untuk shalat jama’ maghrib
dan isya.
Tidak ingin
berlama-lama, kami melanjutkan lagi perjalanan memasuki kawasan Oro-oro ombo.
Tidak seperti siang hari, Oro-oro Ombo terlihat sedikit menyeramkan saat kami
melewatinya malam hari. Lalu menanjak sedikit menuju puncak Kepolo, kemudian
menuruni Tanjakan Cinta. Dan sampailah kami di camb barat Ranugumbolo. Kami mencari-cari tenda yang diisi Diah dan
Anis. Sedikit sulit karena Ranugumbolo sudah penuh berisi penuh tenda-tenda
para pendaki yang hendak naik maupun turun. Kami langsung menyalami Diah dan
Anis yang sejak kemarin terpisah dari kami. Secara garis besar Erwin
menceritakan keadaan kami dari hari kemarin. Saya, Tiar, bang Dimas dan bang
Dian langsung mendirikan tenda karena sudah ingin beristirahat.
Nasi, ikan sarden, telur rebus dan “es” tempe orek menjadi menu kami makan malam itu.
Selanjutnya kami semua tertidur dengan pikiran masing-masing. Kami harus fit untuk perjalanan pulang esok hari.
_________________________________________________________________________________
1 jam
sebelum matahari terbit saya sudah bangun. Saya tidak mau lagi melewatkan
panorama sunrise di Ranugumbolo.
Tayammum, shalat shubuh, saya langsung keluar dan membangunkan semua anggota
tim. Mengajak menyaksikan panorama yang sempat terlewat di hari kemarin. Tapi
sayang, kabut terlalu tebal sehingga menghalangi panorama sunrise yang sedari tadi kami tunggu.
Erwin sedang Packing.
Suasana packing hendak pulang.
Anak-anak memasak
sarapan. Saya berkeliling lagi mencari tenda kang Sablu dan 2 kawannya yang
ternyata lagi tidak begitu jauh dari tenda kami, hanya berjarak beberapa tenda
saja. Setelah sarapan, kami mengisi waktu lagi dengan berfoto-foto ria. Biar
muka sudah hitam kekeringan karena terlalu dekat dengan Matahari, tenang saja,
masih ada photoshop yang siap
mencerahkan.
Camp utama Ranugumbolo, sisi barat Ranugumbolo dengan latar tanjakan cinta. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.
Tim, kang Wawan, kang Salue dan kang Darwis
Kami dan Ranugumbolo.
Setelah semua
barang sudah packed dan siap dibawa
kami memulai perjalan turun ke Ranupane. Seperti biasa tak ada cerita menarik
yang bisa saya ceritakan, karena kami hanya menghabiskan perjalanan dengan
foto-fot, mendengarkan musik, mengobrol, bercanda, bertegur sapa dengan para
pendaki yang naik maupun turun, dan sesekali berhenti untuk istirahat dan
minum.
Camp utara Ranugumbolo. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.
Tim di satu-satunya jembatan yang kami temui. Photo by Tiar. .
TIm di gerbang masuk dan keluar pendakian Semeru jalur Ranupane.
Dan tengah hari,
kami sudah sampai di Ranupane. Pengurusan administrasi, pemeriksaan sampah
bawaan yang ternyata tidak benar-benar diperiksa. Itu mungkin penyebab utama
Semeru kotor. Saya tidak menceritakan bagaimana kotornya Semeru waktu itu,
karena memang tidak mempengaruhi semangat dan haru kami. Tapi miris saja,
melihat bagaimana orang-orang tidak bertanggung jawab membuang sampah
seenaknya, BAB sembarangan, dan sampah-sampah kemah yang tidak dibersihkan.
Yang paling miris buat saya, air Ranugumbolo yang pinggirannya penuh dengan
sampah dapur. Kebanyakan yang berkemah di Ranugumbolo mencuci peralatan masak
mereka langsung masuk ke dalam danau, hal yang sangat tidak beradab menurut saya.
Dan sedihnya, pihak pengelola Semeru tidak menunjukkan ketegasannya tentang hal
itu. Saya hanya bisa berharap ada sistem yang bisa mencegah kotornya Semeru,
dan secara pribadi saya membersihkan sendiri sampah yang saya hasilkan, apapun
bentuknya terutama sampah-sampah nonorganik yang sangat sulit dicerna alam.
Menjelang sore,
setelah membeli beberapa merchandise
Mahameru, saya pribadi membeli 2 emblem
pesenan kawan saya Tonjir dan 1 kaos hitam bergambar letusan Mahameru, bang
Dian membeli kaos dengan tulisan “keep
calm and hike mahameru”, dan lainnya dan lainnya. Kami melanjutkan
perjalanan turun kami ke Tumpang dengan menyewa mobil L300 bak terbuka berwarna
hitam. Kami bergabung bersama rombongan bang Jejen.
Memasuki waktu
maghrib, kami sampai di Tumpang. Bang Jejen dan rombongannya langsung menuju
stasiun untuk bermalam disana, sedangkan kami mencari penginapan murah di
daerah Tumpang. Setelah melakukan cross
check di 2 penginapan yang terhitung mahal, kami diizinkan memakai kamar
kost milik Ibu pemilik warung makan samping Puskesmas Tumpang yang di hari
pertama kami singgah untuk sarapan. Kami harus membayar cukup murah untuk
menginap disana dengan bonus sarapan pagi untuk esok hari.
Keesokan harinya,
sekitar pukul 11.00 WIB kami berangkat ke stasiun dengan menyewa angkot lagi.
Sesampainya di stasiun, saya berpisah dari rombongan. Karena saya memiliki
tiket ke Bandung yang keretanya berangkat pada pukul 12.35 WIB, sedangkan yang
lainnya memiliki tiket ke Ibukota yang keretanya berangkat jam 7 malam nanti.
Kami pun berpisah, mereka mengantar saya sampai ke gerbang masuk stasiun
Malang. Saling menyalami dan
berpelukkan, kami pun berpisah.
Saya langsung
memasuki gerbong Bisnis-B seat 9B
yang saya dapatkan dengan membayar Rp. 260.000 saja. Selama perjalanan pulang
ke Bandung, saya menghabiskan waktu dengan melamun. Seperti berdiri diantara
mimpi dan kenyatataan, saya belum yakin kalau saya sudah melalui petualangan
yang luar biasa. Saya masih belum percaya kalau saya berhasil berdiri di atas
tanah tertinggi pulau jawa, sungguh sesuatu yang luar biasa. Tidak sabar
rasanya untuk sampai di rumah, tidak sabar ingin bercerita kepada kawan, teman,
keluarga dan semua orang kalau saya baru saja melihat sesuatu yang luar biasa.
Menceritakan betapa megahnya Ibu Pertiwi untuk sekedar dicintai.
Terima kasih Tuhan..
Terima kasih
kawan-kawan..
Terima kasih
Mahameru, suatu saat aku kembali lagi, semoga...
_________________________________________________________________________________
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar