remember one thing...shit always happens...

Sabtu, 07 September 2013

Kabar Gembira untuk Kawan

Aku merindukan lagi masa..
Dimana hanya ada aku, kamu dan Mahameru
-gie-
_________________________________________________________________________________

Di bab terakhir ini tidak terlalu banyak cerita yang bisa saya sampaikan.


Perjalanan turun ternyata tidak jauh lebih mudah dari perjalanan naik yang kami lakukan selama lebih dari 11 jam, terhitung kurang lebih dari pukul 22.00 WIB sampai 09.15 WIB, meskipun jauh lebih cepat. Dan akhrinya, kami berenam meninggalkan puncak Mahameru, siap membagi cerita kepada Diah dan Anis, kepada keluarga dan kawan-kawan di rumah.


Perjalanan turun ke Kalimati. Tampak sebelah kanan atas, Kalimati.


Ditambah juga bang Jejen, teman kehausan, pria berjaket merah yang tadi saya cerita dia beberapa kali harus melompat untuk menangkap batu-batu yang jatuh, kami menapaki lagi punggung Mahameru, tapi kali ini menurun. Di puncak tadi kami bertemu bang Jejen dan sempat berfoto bersama juga.
Pasir dan kerikil di punggung Mahameru benar-benar sudah tidak lembab lagi. Itu sedikit membantu kami untuk turun. Sekali melangkah kami bisa merosot 1 sampai 2 meter, jadi kami bisa mempercepat jalan turun. Tapi masalahnya debu yang dihasilkan pun lebih banyak. Ditambah lagi ketika merosot kaki merembas lebih dalam ke dalam pasir, sehingga kadang membuat kami terjatuh dan kerikil masuk lebih banyak ke dalam sepatu. Tapi tak apa, haus yang mendorong kami untuk terus berjalan lebih cepat.
Setengah jam lebih kami sudah melewati jalur berpasir Mahameru melewati cemoro tunggal, perbatasan vegetasi dan jalur pasir. Dari sini tim terpisah. Saya, Sukma dan bang Dimas lebih dulu, dan yang lainnya di belakang kami bertiga.
Memasuki Arcopodo perjalanan justru makin sulit. Jika tadi di jalur pasir kami tinggal merosot saja, dari sini kami harus berjalan seperti biasa lagi dengan kaki menahan beban lebih, karena ketika menurun seluruh beban akan bertumpu pada kaki. Diperparah, jari-jari kaki sangat sakit karena terdapat banyak kerikil di dalam sepatu.
Seingat saya, kami melewati dua batu nisan yang semalam juga kami melewatinya. 2 orang yang mungkin meninggal atau menghilang di semeru. Tapi, makam Soe Hok Gie yang saya cari, kami tidak melihatnya. Menurut kabar nisannya sudah dipindahkan ke bawah, atau memang mungkin tidak pernah berada disana. Kami beristirahat sebentar sebelum area camp Arcopodo, berfoto-foto sebentar sambil mengistirahatkan kaki.
Selagi kami beristirahat, nikmat Tuhan yang kalian dustakani. Bang Jejen menyusul kami, ikut beristirahat dan memberikan 1 kaleng minuman rasa jeruk. Kami bertiga membagi minuman rasa jeruk yang tersisa setengahnya itu. Benar-benar nikmat, sedikit mengurangi rasa haus kami. Kami bertiga melanjutkan turun lagi, sedangkan bang Jejen memilih beristirahat lebih lama lagi. Tidak banyak lagi yang bisa saya ceritakan di perjalanan turun menuju Kalimati, karena memang tidak banyak yang saya ingat. Konsentrasi sudah benar-benar hilang, serasa seperti mayat hidup berjalan tanpa ingatan. Seingat saya, hanya melewati camp Arcopodo yang ternyata ada beberapa tenda didirikan disana, tapi semalam saya tidak sempat melihatnya karena mungkin gelap dan terlalu fokus. Dan cerita saya singkat lagi, kami bertiga sampai di Kalimati, di tenda kami. Bang Dian sudah lebih dulu ada disana. Kurang ingat juga kejadian-kejadian disana. Yang saya ingat, Erwin dan Tiar akhirnya datang, lalu semua anggota tim tidur kecuali saya yang susah untuk tidur waktu itu. Dan saya menunggui mereka tidur dengan mengobrol bersama kang Wawan dan kang Sablu yang lebih dulu turun, serta kang Darwis yang akhirnya memutuskan tidak meneruskan sampai puncak. Itu yang saya ingat di waktu itu. Maaf, ingatan saya tercecer lagi sepanjang puncak Mahameru sampai Kalimati.


Sepatu yang membawa gw ke puncak Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D. Edited by gie.

_________________________________________________________________________________

Selepas shalat jama’ ashar dan dluhur, kang Sablu dan 2 kawannya sudah siap untuk turun ke Ranugumbolo. Tidak ingin sendiri, saya membangunkan anak-anak untuk bersiap-siap juga untuk turun. Bukan tidak kasian saya melihat mereka terlelap kelelahan, hanya saja waktu yang semakin sore.
Semua bersiap-siap, tenda dilipat, semua barang bawaan sudah masuk kedalalm carrier masing-masing. Persediaan air kami sudah terisi penuh lagi. Sewaktu anak-anak tidur tadi, kang Wawan memberikan 1 derigen air penuh untuk kami, lumayan cukup untuk turun ke Ranugumbolo.
Kami pun berangkat menuju Ranugumbolo, membawa sejuta cerita haru tentang Mahameru.
Dalam perjalanan pulang, tidak ada hambatan yang berarti, tidak banyak juga cerita yang bisa saya ceritakan, karena memang datar-datar saja. Seperti seharusnya kami melewati puncak Jambangan, tempat terakhir kami bisa melihat Mahameru, kami berhenti sekejap untuk mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan untuk Mahameru. Selanjutnya jalanan menurun. Sesekali kali kami berpapasan dengan pendaki yang menuju Kalimati. Kami memberikan semangat seperti yang pendaki lain berikan kepada kami sewaktu naik.
Hari sudah mulai gelap, suhu mulai mendingin, dan suasana mistis terasa lagi saat kami memasuki hutan cemara antara puncak Jambangan dan Cemoro Kandang. Sesampainya di Cemoro Kandang, kami beristirahat sebentar. Mengeluarkan senter dan headlamp yang akan membantu kami menerangi jalan, sedangkan saya menyempatkan diri untuk shalat jama’ maghrib dan isya.
Tidak ingin berlama-lama, kami melanjutkan lagi perjalanan memasuki kawasan Oro-oro ombo. Tidak seperti siang hari, Oro-oro Ombo terlihat sedikit menyeramkan saat kami melewatinya malam hari. Lalu menanjak sedikit menuju puncak Kepolo, kemudian menuruni Tanjakan Cinta. Dan sampailah kami di camb barat Ranugumbolo. Kami mencari-cari tenda yang diisi Diah dan Anis. Sedikit sulit karena Ranugumbolo sudah penuh berisi penuh tenda-tenda para pendaki yang hendak naik maupun turun. Kami langsung menyalami Diah dan Anis yang sejak kemarin terpisah dari kami. Secara garis besar Erwin menceritakan keadaan kami dari hari kemarin. Saya, Tiar, bang Dimas dan bang Dian langsung mendirikan tenda karena sudah ingin beristirahat.
Nasi, ikan sarden, telur rebus dan “es” tempe orek menjadi menu kami makan malam itu. Selanjutnya kami semua tertidur dengan pikiran masing-masing. Kami harus fit untuk perjalanan pulang esok hari.
_________________________________________________________________________________


1 jam sebelum matahari terbit saya sudah bangun. Saya tidak mau lagi melewatkan panorama sunrise di Ranugumbolo. Tayammum, shalat shubuh, saya langsung keluar dan membangunkan semua anggota tim. Mengajak menyaksikan panorama yang sempat terlewat di hari kemarin. Tapi sayang, kabut terlalu tebal sehingga menghalangi panorama sunrise yang sedari tadi kami tunggu.



Erwin sedang Packing.




Suasana packing hendak pulang.


Anak-anak memasak sarapan. Saya berkeliling lagi mencari tenda kang Sablu dan 2 kawannya yang ternyata lagi tidak begitu jauh dari tenda kami, hanya berjarak beberapa tenda saja. Setelah sarapan, kami mengisi waktu lagi dengan berfoto-foto ria. Biar muka sudah hitam kekeringan karena terlalu dekat dengan Matahari, tenang saja, masih ada photoshop yang siap mencerahkan.


Camp utama Ranugumbolo, sisi barat Ranugumbolo dengan latar tanjakan cinta. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.


Tim, kang Wawan, kang Salue dan kang Darwis


Kami dan Ranugumbolo.

Setelah semua barang sudah packed dan siap dibawa kami memulai perjalan turun ke Ranupane. Seperti biasa tak ada cerita menarik yang bisa saya ceritakan, karena kami hanya menghabiskan perjalanan dengan foto-fot, mendengarkan musik, mengobrol, bercanda, bertegur sapa dengan para pendaki yang naik maupun turun, dan sesekali berhenti untuk istirahat dan minum. 


Camp utara Ranugumbolo. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.


Tim di satu-satunya jembatan yang kami temui. Photo by Tiar. .


TIm di gerbang masuk dan keluar pendakian Semeru jalur Ranupane.

Dan tengah hari, kami sudah sampai di Ranupane. Pengurusan administrasi, pemeriksaan sampah bawaan yang ternyata tidak benar-benar diperiksa. Itu mungkin penyebab utama Semeru kotor. Saya tidak menceritakan bagaimana kotornya Semeru waktu itu, karena memang tidak mempengaruhi semangat dan haru kami. Tapi miris saja, melihat bagaimana orang-orang tidak bertanggung jawab membuang sampah seenaknya, BAB sembarangan, dan sampah-sampah kemah yang tidak dibersihkan. Yang paling miris buat saya, air Ranugumbolo yang pinggirannya penuh dengan sampah dapur. Kebanyakan yang berkemah di Ranugumbolo mencuci peralatan masak mereka langsung masuk ke dalam danau, hal yang sangat tidak beradab menurut saya. Dan sedihnya, pihak pengelola Semeru tidak menunjukkan ketegasannya tentang hal itu. Saya hanya bisa berharap ada sistem yang bisa mencegah kotornya Semeru, dan secara pribadi saya membersihkan sendiri sampah yang saya hasilkan, apapun bentuknya terutama sampah-sampah nonorganik yang sangat sulit dicerna alam.
Menjelang sore, setelah membeli beberapa merchandise Mahameru, saya pribadi membeli 2 emblem pesenan kawan saya Tonjir dan 1 kaos hitam bergambar letusan Mahameru, bang Dian membeli kaos dengan tulisan “keep calm and hike mahameru”, dan lainnya dan lainnya. Kami melanjutkan perjalanan turun kami ke Tumpang dengan menyewa mobil L300 bak terbuka berwarna hitam. Kami bergabung bersama rombongan bang Jejen.
Memasuki waktu maghrib, kami sampai di Tumpang. Bang Jejen dan rombongannya langsung menuju stasiun untuk bermalam disana, sedangkan kami mencari penginapan murah di daerah Tumpang. Setelah melakukan cross check di 2 penginapan yang terhitung mahal, kami diizinkan memakai kamar kost milik Ibu pemilik warung makan samping Puskesmas Tumpang yang di hari pertama kami singgah untuk sarapan. Kami harus membayar cukup murah untuk menginap disana dengan bonus sarapan pagi untuk esok hari.
Keesokan harinya, sekitar pukul 11.00 WIB kami berangkat ke stasiun dengan menyewa angkot lagi. Sesampainya di stasiun, saya berpisah dari rombongan. Karena saya memiliki tiket ke Bandung yang keretanya berangkat pada pukul 12.35 WIB, sedangkan yang lainnya memiliki tiket ke Ibukota yang keretanya berangkat jam 7 malam nanti. Kami pun berpisah, mereka mengantar saya sampai ke gerbang masuk stasiun Malang. Saling menyalami dan  berpelukkan, kami pun berpisah.
Saya langsung memasuki gerbong Bisnis-B seat 9B yang saya dapatkan dengan membayar Rp. 260.000 saja. Selama perjalanan pulang ke Bandung, saya menghabiskan waktu dengan melamun. Seperti berdiri diantara mimpi dan kenyatataan, saya belum yakin kalau saya sudah melalui petualangan yang luar biasa. Saya masih belum percaya kalau saya berhasil berdiri di atas tanah tertinggi pulau jawa, sungguh sesuatu yang luar biasa. Tidak sabar rasanya untuk sampai di rumah, tidak sabar ingin bercerita kepada kawan, teman, keluarga dan semua orang kalau saya baru saja melihat sesuatu yang luar biasa. Menceritakan betapa megahnya Ibu Pertiwi untuk sekedar dicintai.
Terima kasih Tuhan..
Terima kasih kawan-kawan..
Terima kasih Mahameru, suatu saat aku kembali lagi, semoga...
_________________________________________________________________________________




 T A M A T



Tidak ada komentar:

Posting Komentar