remember one thing...shit always happens...

Sabtu, 07 September 2013

Kalimati, Penjaga Setia Kaki Mahameru

Disana, semua keangkuhan mulai dilucuti..
Dan Arcopodo, menyaksikan aku menunggangi Mahameru...
-gie-
_________________________________________________________________________________


13 Agustus 2013, saya sedikit telat bangun pagi itu, mungkin karena kelelahan tadi malam. Yang lainnya pun belum bangun semua, hanya Anis yang saya ingat sudah asik mengotak-atik kompor, memasak air sepertinya. Bang Dimas dan bang Dian juga saya dengar udah sibuk beradu mulut, tanda mereka sudah bangun.
Tayamum, shalat shubuh, dan saya langsung keluar menikmati segarnya udara Ranugumbolo. Dan benar perkiraan saya, karena bangunnya kesiangan, udara terasa lebih dingin. Alhasil, jaket, kupluk, sarung tangan dan kaos kaki saya kenakan kembali. Tapi tetap saya harus keluar, percuma kan jauh-jauh kesini kalau hanya untuk tiduran saja, mending juga di rumah.
Saya mulai berkeliling-keliling, mencari tempat kang Darwis, kang Wawan dan kang Sablu mendirikan tenda. Ternyata tenda mereka tidak begitu jauh dari tenda kami, hanya berjarak sekitar 15 meter saja. Sapaan dan obrolan pun dimulai lagi, topik utama perjalanan dari ranupane sampai Ranugumbolo tentunya. Tidak lama kemudian, setelah anak-anak bangun semua, ritual wajib pun dimulai, foto-foto. Walaupun sunrise tidak menghadap langsung ke tenda kami, karena kami bermalam di camp utara Ranugumbolo, tapi view dan hasil jepretan tidak begitu mengecewakan.
Saat sarapan, rapat digelar. Ini tentang kita akan melanjutkan atau menyudahi saja pendakian kita. Keenam orang kami tanpa bang Dimas dan bang Dian (karena yakin mereka pasti meneruskan) sedikit berbincang tentang pendakian kami. Saat ditanya pendapat saya, saya langsung mengiyakan kalau kita harus turun, karena kepesimisan saya soal anak-anak. Mereka memberikan opsi kalau mereka akan bermalam sekali lagi disana sambil menunggu anak-anak yang mau melanjutkan. Intinya, pemikiran dan opsi-opsi kami tidak ada yang memuaskan, karena dilatar belakangi kepesimisan dan ego yang “sedikit” masih tinggi. Akhirnya, bang Dimas lah yang menjadi pahlawan siang hari kami. “selama masih ada motivasi buat naik, gw yakin kalian bisa”, kurang lebih begitu kata bang Dimas. Satu per satu kami ditanyai, masih ingin dan sanggup naik ke kalimati?. Semua menjawab siap kecuali Diah. Disini kekuatan tim terlihat sekali lagi, (setelah semalam, kekuatan tim lah yang menuntun kami sampai ke Ranugumbolo), semua memberikan motivasi untuk Diah, meyakinkan Diah kalau dia dan semuanya mampu melanjutkan meski hanya sampai Kalimati. Perlahan tapi pasti, motivasi Diah terbangun lagi. Dan semua satu suara, melanjutkan sampai minimal camp di Kalimati.
_________________________________________________________________________________


Tenda mulai dirapikan, barang bawaan dipacking lagi, kita siap menuju kalimati.Kami berdelapan berkumpul membentuk lingkaran kecil, ritual do’a yang kami lakukan rutin sebelum memulai perjalanan. Seperti biasa bang Dimas yang memimpin.

Team berjalan beberapa belasan meter setelah rombongan kang wawan. Tanjakan sekitar 4-5 meter sudah cukup menguras nafas kami. Diteruskan menyusuri tepian Ranugumbolo, menurun, dan sampailah kami di camp utama Ranugumbolo, sisi barat Ranugumbolo. Kami menyempatkan diri untuk berfoto ria di plang bertuliskan Ranugumbolo dan panorama Ranugumbolo sisi barat.
Hendak melanjutkan lagi, Anis mengeluh kurang enak badan, masuk angin sepertinya. Kami meletakkan kembali bawaan kami di salah satu shelter disana, dan Anis yang menjadi prioritas utama kami saat itu. Semua jenis minyak angin dikeluarkan, mulai dioleskan ke leher dan badannya. Saya berinisiatif memijat leher dan telapak tangannya. Anis terlihat kesakitan. Anis memutuskan untuk tidak meneruskan, Diah memutuskan untuk menemani Anis. Kami mendirikan satu tenda untuk Anis dan Diah, mereka akan bermalam lagi di Ranugumbolo. Sedih sudah pasti, tapi sisi baiknya anggota tim lain yang akan meneruskan bisa meninggalkan barang yang tidak diperlukan di Ranugumbolo. Repacking, 3 carrier dan 1 daypack yang akan menjadi bekal sampai ke Kalimati. 2 orang hanya akan membawa 1 tas kamera dan 1 tas P3K, jadi nanti kami bisa bergantian bawaan kalau lelah. Akhirnya, tersisa 6 orang, 5 cowok tidak tampan, bang Dimas, bang Dian, Saya, Erwin dan Tiar, beserta 1 cewek paling cantik diantara kami berlima, Sukma. Pesan Anis dan Diah: “sampai puncak yah!!!”, menjadi motivasi baru bagi kami.


Tanjakan Cinta. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.

Tanjakan cinta, tanjakan mitos sekaligus fokus utama kami sejak sampai di sisi barat Ranugumbolo menjadi sambutan pertama kami. Tidak seperti kelihatannya, justru menurut  saya tanjakan ini yang lebih banyak menguras tenaga kami dalam perjalan menuju Kalimati. Sampai setengah tanjakan, saya berhenti, mengatur nafas tanpa minum, melanjutkan lagi. Bang Dian yang pertama kali sampai di Puncak Kepolo, selanjutnya saya, lalu Erwin, selanjutnya saya lupa. Bang Dimas yang terlihat lebih berusaha, karena bawaan dia paling besar dan paling berat sepertinya. Kami beristirahat sejenak, melihat cantiknya Ranugumbolo dari Puncak Kepolo.


Tanjakan Cinta dan Ranugumbolo dari Puncak Kepolo. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.

Tim, beristirahat sehabis tanjakan cinta. Photo by Erwin. Edited and cropped by gie.



Perjalanan berlanjut, menanjak sedikit dan terlihat dari atas hamparan rumput ilalang terlihat senang menyambut kami. Jalanan turun curam, dan there we are, Oro-oro Ombo, sebidang lapang dipenuhi ilalang-ilalang yang rata-rata setinggi manusia dewasa. Foto-foto sebentar, kami meneruskan lagi menyusuri rumput-rumput tinggi yang sesekali tertiup angin dan menyentuh kami seakan membelai, indahnya.


Oro-oro Ombo. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.

Oro-oro Ombo terlihat dari Cemoro Kandang. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.


Habis rumput ilalang, pohon-pohon cemara tinggi menjulang yang bergantian menyambut kami. Ada tempat lapang yang teduh untuk beristirahat. Kami dan beberapa tim lain menggunakannya untuk beristirahat sebentar. Cemoro Kandang, di belakang kami terlihat beberapa pohon tumbang hangus sisa-sisa kebakaran hutan, kabar yang kami dengar di perjalanan menuju Ranugumbolo. Miris, entah apa penyebabnya tak ada satu pun kami tahu.
Canda dan tawa kami lontarkan untuk mengisi istirahat di Cemoro Kandang. Begitu pun ketika kami lanjutkan lagi perjalanan, kami isi sesekali dengan candaan. Jalanan menanjak yang lumayan menguras tenaga, tapi tidak seterjal Tanjakan Cinta. Banyak pendaki yang kami temui naik atau pun turun. Rupanya pamor Semeru sedang tinggi, uporia 5cm kalau kata kawan saya. Kami sempat bertegur sapa dan berbincang dengan beberapa rombongan, ada yang dari Bandung, Jakarta, Jawa bahkan Padang, turis mancanegara pun banyak kami temui. Bermacam-macam pula, ada yang bersama teman-teman kampus, kampung bahkan bareng keluarga. Ada beberapa anak kecil juga yang diajak mungkin oleh ayah bundanya. Entah apa tujuan mereka. Mungkin mereka bosan dengan tempat-tempat wisata yang biasanya mereka datangi, ingin lebih menantang mungkin, atau “wah, keren juga tuh yang di film 5cm, kita kesana yuk mah, yuk pah”, dan itu semua hanya “mungkin”, jadi tak perlu penyimpulan apa pun.
Di sepanjang jalan tadi banyak kami temui pohon-pohon tumbang melintang menghalangi trek yang kami lalui. Sehingga pihak semeru harus membuat trek-trek baru memutari batang-batang pohon tumbang. Sekitar waktu ashar, kami memutuskan untuk beristirahat di tempat yang agak lapang, di samping tenda milik tim lain. Tiar yang fisiknya sudah melemah lebih dulu langsung mengambil posisi terlentang lalu tidur, bang Dian meminjam hp Sukma untuk memutar musik, Sukma tak lama menyusul Tiar tidur, bang Dimas merebus kentang lalu kemudian tidur juga, saya shalat ashar lalu mencari kesibukan sendiri. Mulai dari memoles-moleskan sunblock bawaan Sukma, membolak-balikan kentang, menambul mie instan mentah-mentah, apa saja yang penting badan terus bergerak karena udara mulai terasa sangat dingin. Info terakhir yang saya dengar di pos Ranupane, udara terakhir yang terukur di Ranupane adalah -3 derajat, bisa dibayangkan dari Ranugumbolo ke atas, suhunya bisa mencapai lebih rendah lagi.
Terlalu lama berhenti saya pikir, akhirnya saya menyimpulkan kalau kentang sudah matang. Anak-anak saya panggil, saatnya mengkonsumsi karbohidrat, karena sarapan tadi hanya sedikit karbohidrat yang masuk tubuh kami. Nikmatnya kentang rebus ala chef Dimas yang resepnya pun sangat mudah, murah dan praktis: nyalakan api, masukkan panci berisi air bersih, masukkan kentang yang hendak direbus, lalu tinggalkan tidur. Sampai ada yang membangunkan kita, berarti kentang sudah siap disantap, hidangkan apa adanya tanpa bumbu-bumbu lain. Mudah, murah dan praktis kan? :D.
Kenyang, kami mulai lagi berjalan, menurun sedikit dan menanjak jauh lebih banyak. Kami berenam tidak pernah berpisah, berjalan bersama, lelah bersama, berhenti pun berbarengan. Posisi saja yang berubah-ubah, kadang siapa yang di depan kadang siapa yang dibelakang. Begitu pun bawaan kami, bang Dimas bergantian membawa daypack yang dibawa bang Dian dan sebaliknya bang Dian membawa carrier paling besar yang dibawa bang Dimas, Tiar menyerahkan tahta carriernya kepada Erwin yang tadinya hanya membawa tas P3K, Sukma tetap membawa tas kamera dan saya tetap membawa carrier saya.
Setelah berjam-jam berjalan dari Ranugumbolo, tanjakan di Cemoro Kandang pun habis kami lahap. Sampailah kami di tanah lapang bernama Puncak Jambangan. Dari sana kami sudah bisa melihat Mahameru berdiri tegak, angkuh dan cantik. Semakin membara pula semangat kami. Ritual wajib dimulai selagi istirahat sejenak, foto-foto dengan background Mahameru. Perjalanan pun dilanjutkan, dari Puncak Jambangan tinggal beberapa puluh menit lagi kami akan tiba di Kalimati.


Mahameru terlihat dari Puncak Jambangan. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.


Matahari sudah mulai malu-malu menyembunyikan wajahnya di ufuk barat, kami pun memasuki wilayah Kalimati. Pemukiman camp pertama kami lewati, kami meneruskan ke pemukiman camp yang kedua, karena kelihatannya lebih nyaman di tanah terbuka. Kami melihat kang Darwis sedang duduk sila di pinggir lapangan sembari menyantap camilan seadanya. Sedangkan kang Wawan dan kang Sablu sedang sibuk membereskan tenda kemah dengan beberapa teman barunya dari rombongan lain. Kami menyapa dan langsung mendirikan tenda karena hari sudah mulai gelap.
Bang Dian memasak sarapan sore kami, sisanya mempersiapkan bawaan untuk summit attack kami nanti malam. Setelah berkoordinasi dengan kang Sablu, 3 rombongan (kami, kang Wawan beserta rombongan, dan rombongan teman mereka bertiga) akan melakukan summit attack pada pukul 10.00 WIB.
Seusai berjama’ah shalat jama’ maghrib dan isya’ bersama kang Sablu, saya langsung bergabung untuk sarapan sore kami dan langsung dilanjutkan tidur, persiapan fisik untuk summit attack. Alarm di handphone saya dan sukma dinyalakan. Dengan harapan dan do’a semoga Mahameru bersahabat dengan kami, dan kami pun memaksakan diri untuk tidur.
_________________________________________________________________________________

1 komentar: