Dan Arcopodo, menyaksikan
aku menunggangi Mahameru...
-gie-
_________________________________________________________________________________
13 Agustus 2013, saya
sedikit telat bangun pagi itu, mungkin karena kelelahan tadi malam. Yang
lainnya pun belum bangun semua, hanya Anis yang saya ingat sudah asik
mengotak-atik kompor, memasak air sepertinya. Bang Dimas dan bang Dian juga saya
dengar udah sibuk beradu mulut, tanda mereka sudah bangun.
Tayamum, shalat
shubuh, dan saya langsung keluar menikmati segarnya udara Ranugumbolo. Dan
benar perkiraan saya, karena bangunnya kesiangan, udara terasa lebih dingin.
Alhasil, jaket, kupluk, sarung tangan dan kaos kaki saya kenakan kembali. Tapi
tetap saya harus keluar, percuma kan jauh-jauh kesini kalau hanya untuk tiduran
saja, mending juga di rumah.
Saya mulai
berkeliling-keliling, mencari tempat kang Darwis, kang Wawan dan kang Sablu
mendirikan tenda. Ternyata tenda mereka tidak begitu jauh dari tenda kami,
hanya berjarak sekitar 15 meter saja. Sapaan dan obrolan pun dimulai lagi,
topik utama perjalanan dari ranupane sampai Ranugumbolo tentunya. Tidak lama
kemudian, setelah anak-anak bangun semua, ritual wajib pun dimulai, foto-foto.
Walaupun sunrise tidak menghadap
langsung ke tenda kami, karena kami bermalam di camp utara Ranugumbolo, tapi view
dan hasil jepretan tidak begitu mengecewakan.
Saat sarapan, rapat digelar. Ini tentang kita akan
melanjutkan atau menyudahi saja pendakian kita. Keenam orang kami tanpa bang
Dimas dan bang Dian (karena yakin mereka pasti meneruskan) sedikit berbincang
tentang pendakian kami. Saat ditanya pendapat saya, saya langsung mengiyakan
kalau kita harus turun, karena kepesimisan saya soal anak-anak. Mereka
memberikan opsi kalau mereka akan bermalam sekali lagi disana sambil menunggu
anak-anak yang mau melanjutkan. Intinya, pemikiran dan opsi-opsi kami tidak ada
yang memuaskan, karena dilatar belakangi kepesimisan dan ego yang “sedikit”
masih tinggi. Akhirnya, bang Dimas lah yang menjadi pahlawan siang hari kami. “selama masih ada motivasi buat naik, gw yakin kalian bisa”, kurang lebih begitu kata bang Dimas. Satu per satu
kami ditanyai, masih ingin dan sanggup naik ke kalimati?. Semua menjawab siap
kecuali Diah. Disini kekuatan tim terlihat sekali lagi, (setelah semalam,
kekuatan tim lah yang menuntun kami sampai ke Ranugumbolo), semua memberikan
motivasi untuk Diah, meyakinkan Diah kalau dia dan semuanya mampu melanjutkan
meski hanya sampai Kalimati. Perlahan tapi pasti, motivasi Diah terbangun lagi.
Dan semua satu suara, melanjutkan sampai minimal camp di Kalimati.
_________________________________________________________________________________
Tenda mulai
dirapikan, barang bawaan dipacking
lagi, kita siap menuju kalimati.Kami berdelapan berkumpul membentuk lingkaran
kecil, ritual do’a yang kami lakukan rutin sebelum memulai perjalanan. Seperti
biasa bang Dimas yang memimpin.
Team berjalan
beberapa belasan meter setelah rombongan kang wawan. Tanjakan sekitar 4-5 meter
sudah cukup menguras nafas kami. Diteruskan menyusuri tepian Ranugumbolo,
menurun, dan sampailah kami di camp utama
Ranugumbolo, sisi barat Ranugumbolo. Kami menyempatkan diri untuk berfoto ria
di plang bertuliskan Ranugumbolo dan
panorama Ranugumbolo sisi barat.
Hendak melanjutkan lagi, Anis mengeluh kurang enak badan, masuk angin
sepertinya. Kami meletakkan kembali bawaan kami di salah satu shelter disana, dan Anis yang menjadi
prioritas utama kami saat itu. Semua jenis minyak angin dikeluarkan, mulai
dioleskan ke leher dan badannya. Saya berinisiatif memijat leher dan telapak
tangannya. Anis terlihat kesakitan. Anis memutuskan untuk tidak meneruskan,
Diah memutuskan untuk menemani Anis. Kami mendirikan satu tenda untuk Anis dan
Diah, mereka akan bermalam lagi di Ranugumbolo. Sedih sudah pasti, tapi sisi
baiknya anggota tim lain yang akan meneruskan bisa meninggalkan barang yang
tidak diperlukan di Ranugumbolo. Repacking,
3 carrier dan 1 daypack yang akan menjadi bekal sampai ke Kalimati. 2 orang hanya
akan membawa 1 tas kamera dan 1 tas P3K, jadi nanti kami bisa bergantian bawaan
kalau lelah. Akhirnya, tersisa 6 orang, 5 cowok tidak tampan, bang Dimas, bang
Dian, Saya, Erwin dan Tiar, beserta 1 cewek paling cantik diantara kami
berlima, Sukma. Pesan Anis dan Diah: “sampai
puncak yah!!!”, menjadi motivasi baru bagi kami.
Tanjakan
cinta, tanjakan mitos sekaligus fokus utama kami sejak sampai di sisi barat
Ranugumbolo menjadi sambutan pertama kami. Tidak seperti kelihatannya, justru
menurut saya tanjakan ini yang lebih
banyak menguras tenaga kami dalam perjalan menuju Kalimati. Sampai setengah
tanjakan, saya berhenti, mengatur nafas tanpa minum, melanjutkan lagi. Bang
Dian yang pertama kali sampai di Puncak Kepolo, selanjutnya saya, lalu Erwin,
selanjutnya saya lupa. Bang Dimas yang terlihat lebih berusaha, karena bawaan
dia paling besar dan paling berat sepertinya. Kami beristirahat sejenak,
melihat cantiknya Ranugumbolo dari Puncak Kepolo.
Tanjakan Cinta dan Ranugumbolo dari Puncak Kepolo. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.
Tim, beristirahat sehabis tanjakan cinta. Photo by Erwin. Edited and cropped by gie.
Perjalanan
berlanjut, menanjak sedikit dan terlihat dari atas hamparan rumput ilalang
terlihat senang menyambut kami. Jalanan turun curam, dan there we are, Oro-oro Ombo, sebidang lapang dipenuhi
ilalang-ilalang yang rata-rata setinggi manusia dewasa. Foto-foto sebentar,
kami meneruskan lagi menyusuri rumput-rumput tinggi yang sesekali tertiup angin
dan menyentuh kami seakan membelai, indahnya.
Oro-oro Ombo. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.
Oro-oro Ombo terlihat dari Cemoro Kandang. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.
Habis rumput
ilalang, pohon-pohon cemara tinggi menjulang yang bergantian menyambut kami.
Ada tempat lapang yang teduh untuk beristirahat. Kami dan beberapa tim lain
menggunakannya untuk beristirahat sebentar. Cemoro Kandang, di belakang kami
terlihat beberapa pohon tumbang hangus sisa-sisa kebakaran hutan, kabar yang
kami dengar di perjalanan menuju Ranugumbolo. Miris, entah apa penyebabnya tak
ada satu pun kami tahu.
Canda dan tawa
kami lontarkan untuk mengisi istirahat di Cemoro Kandang. Begitu pun ketika
kami lanjutkan lagi perjalanan, kami isi sesekali dengan candaan. Jalanan
menanjak yang lumayan menguras tenaga, tapi tidak seterjal Tanjakan Cinta.
Banyak pendaki yang kami temui naik atau pun turun. Rupanya pamor Semeru sedang
tinggi, uporia 5cm kalau kata kawan saya. Kami sempat bertegur sapa dan
berbincang dengan beberapa rombongan, ada yang dari Bandung, Jakarta, Jawa
bahkan Padang, turis mancanegara pun banyak kami temui. Bermacam-macam pula,
ada yang bersama teman-teman kampus, kampung bahkan bareng keluarga. Ada
beberapa anak kecil juga yang diajak mungkin oleh ayah bundanya. Entah apa
tujuan mereka. Mungkin mereka bosan dengan tempat-tempat wisata yang biasanya
mereka datangi, ingin lebih menantang mungkin, atau “wah, keren juga tuh yang di film 5cm, kita kesana yuk mah, yuk pah”,
dan itu semua hanya “mungkin”, jadi tak perlu penyimpulan apa pun.
Di sepanjang
jalan tadi banyak kami temui pohon-pohon tumbang melintang menghalangi trek yang kami lalui. Sehingga pihak
semeru harus membuat trek-trek baru
memutari batang-batang pohon tumbang. Sekitar waktu ashar, kami memutuskan
untuk beristirahat di tempat yang agak lapang, di samping tenda milik tim lain.
Tiar yang fisiknya sudah melemah lebih dulu langsung mengambil posisi
terlentang lalu tidur, bang Dian meminjam hp Sukma untuk memutar musik, Sukma
tak lama menyusul Tiar tidur, bang Dimas merebus kentang lalu kemudian tidur
juga, saya shalat ashar lalu mencari kesibukan sendiri. Mulai dari
memoles-moleskan sunblock bawaan
Sukma, membolak-balikan kentang, menambul
mie instan mentah-mentah, apa saja yang penting badan terus bergerak karena
udara mulai terasa sangat dingin. Info terakhir yang saya dengar di pos
Ranupane, udara terakhir yang terukur di Ranupane adalah -3 derajat, bisa
dibayangkan dari Ranugumbolo ke atas, suhunya bisa mencapai lebih rendah lagi.
Terlalu lama
berhenti saya pikir, akhirnya saya menyimpulkan kalau kentang sudah matang.
Anak-anak saya panggil, saatnya mengkonsumsi karbohidrat, karena sarapan tadi
hanya sedikit karbohidrat yang masuk tubuh kami. Nikmatnya kentang rebus ala chef Dimas yang resepnya pun sangat
mudah, murah dan praktis: nyalakan api, masukkan panci berisi air bersih,
masukkan kentang yang hendak direbus, lalu tinggalkan tidur. Sampai ada yang
membangunkan kita, berarti kentang sudah siap disantap, hidangkan apa adanya
tanpa bumbu-bumbu lain. Mudah, murah dan praktis kan? :D.
Kenyang, kami
mulai lagi berjalan, menurun sedikit dan menanjak jauh lebih banyak. Kami
berenam tidak pernah berpisah, berjalan bersama, lelah bersama, berhenti pun
berbarengan. Posisi saja yang berubah-ubah, kadang siapa yang di depan kadang
siapa yang dibelakang. Begitu pun bawaan kami, bang Dimas bergantian membawa daypack yang dibawa bang Dian dan
sebaliknya bang Dian membawa carrier
paling besar yang dibawa bang Dimas, Tiar menyerahkan tahta carriernya kepada Erwin yang tadinya
hanya membawa tas P3K, Sukma tetap membawa tas kamera dan saya tetap membawa carrier saya.
Setelah berjam-jam berjalan dari Ranugumbolo, tanjakan
di Cemoro Kandang pun habis kami lahap. Sampailah kami di tanah lapang bernama
Puncak Jambangan. Dari sana kami sudah bisa melihat Mahameru berdiri tegak,
angkuh dan cantik. Semakin membara pula semangat kami. Ritual wajib dimulai
selagi istirahat sejenak, foto-foto dengan background
Mahameru. Perjalanan pun dilanjutkan, dari Puncak Jambangan tinggal beberapa
puluh menit lagi kami akan tiba di Kalimati.
Mahameru terlihat dari Puncak Jambangan. Photo by Dimas. Edited and cropped by gie.
Matahari sudah
mulai malu-malu menyembunyikan wajahnya di ufuk barat, kami pun memasuki
wilayah Kalimati. Pemukiman camp
pertama kami lewati, kami meneruskan ke pemukiman camp yang kedua, karena kelihatannya lebih nyaman di tanah terbuka.
Kami melihat kang Darwis sedang duduk sila di pinggir lapangan sembari
menyantap camilan seadanya. Sedangkan kang Wawan dan kang Sablu sedang sibuk
membereskan tenda kemah dengan beberapa teman barunya dari rombongan lain. Kami
menyapa dan langsung mendirikan tenda karena hari sudah mulai gelap.
Bang Dian memasak
sarapan sore kami, sisanya mempersiapkan bawaan untuk summit attack kami nanti malam. Setelah berkoordinasi dengan kang
Sablu, 3 rombongan (kami, kang Wawan beserta rombongan, dan rombongan teman
mereka bertiga) akan melakukan summit
attack pada pukul 10.00 WIB.
Seusai berjama’ah
shalat jama’ maghrib dan isya’ bersama kang Sablu, saya langsung bergabung
untuk sarapan sore kami dan langsung dilanjutkan tidur, persiapan fisik untuk summit attack. Alarm di handphone saya dan sukma dinyalakan.
Dengan harapan dan do’a semoga Mahameru bersahabat dengan kami, dan kami pun
memaksakan diri untuk tidur.
_________________________________________________________________________________
lumayanlah..
BalasHapus