remember one thing...shit always happens...

Sabtu, 07 September 2013

Bab 1

find it..face it..last, you can fun with it...
-gie-
_________________________________________________________________________________


11 Agustus 2013, 08.30 WIB,- saya berada di bis jurusan Merak-Bandung yang biasanya selalu ada setiap jamnya di terminal Pakupatan, Serang, kali itu saya harus menunggu bis 2 jam lebih karena kebanyakan armada bis disewa untuk angkutan lebaran, karena waktu itu memang masih dalam masa arus balik. Tapi tak apa, karena saya masih bisa mengejar keberangkatan kereta dari Stasiun Bandung pada pukul 15.35 WIB.

12.00 WIB saya tiba di kamar kost. Terhitung cepat memang, karena hari itu Ibukota sedang kosong molongpong, dan thank God saya sempat menikmati lancarnya jalanan raya Jakarta. Setelah menanak nasi dan memasak lauk untuk makan siang dan bekal saya di kereta nanti, saya periksa kembali peralatan yang sudah all packed di avtech outsider 60 liter saya, takut-takut masih ada yang terlupakan karena sadar saya termasuk pelupa.
Beberapa menit sebelum berangkatnya kereta, saya sudah turun dari angkot yang membawa saya ke depan Stasiun Bandung. Sempat kaget sekaligus senang, karena saya lihat ada beberapa orang yang berkelompok dengan tas besar tinggi di pundak mereka, “mau naik juga” kata saya dalam hati, dan kalau mereka satu kereta sama saya, saya yakin mereka pun hendak menaklukan mahameru.
Saya langsung menaiki kereta yang akan membawa saya ke kota malang, Steve Job’s City saya menyebutnya di personal message BBM saya, sedikit memaksa tapi tak apa (saya kan lagi senang :D). Gerbong Ekonomi-C K3-1 seat 8B yang saya bayar dengan harga Rp. 175.000 saja (lebih mahal dua kali lipat dari tiket terakhir  saya Bandung-Kediri) tak begitu sulit saya cari.Carrier saya taruh di tempat tas di atas kursi penumpang, dan saya langsung duduk di tempat saya seharusnya duduk.
Masih banyak kursi penumpang yang kosong waktu saya masuk. Tak ada satu orang pun yang duduk satu bangku sama saya. Bangku di depan saya diisi oleh seorang ibu dan anak perempuannya, serta (mungkin) nenek dan bibi si anak di bangku sebelah kanan mereka. Ada 3 orang yang sepertinya hendak menaklukan mahameru juga duduk di bangku belakang saya. Di gerbong yang sama, di depan pojok kiri saya, diisi oleh beberapa orang pendaki juga dan saya yakin di setiap gerbong kereta ini pasti ada beberapa pendaki yang mengisi, karena saya lihat banyak pendaki yang masuk kereta ini.
Kereta berangkat, dan obrolan pun dimulai antara saya dan ibu yang duduk tepat di depan saya tadi. Seperti biasa, saya tak terlalu banyak bicara, hanya sekedarnya, hanya menjawab pertanyaan seadanya. “Lebih banyak mendengar” kata seorang kawan. Dan yupz, she’s right, kadang kita melupakan hal terpenting dalam komunikasi, listening. Kebanyakan orang menerjemahkan berkomunikasi seharusnya dalam 2  arah, dan penerjemahan 2 arah ini yang menurut saya harusnya diluruskan. 2 arah tak harus selalu menjawab, tak harus selalu menimpali. Mendengarkan lawan bicara lebih penting dari sekedar menimpali. Meski pun pada akhirnya harus muncul reaksi dari mendengarkan itu sendiri.
Kembali ke kereta, ternyata si ibu ramah bersama puterinya beserta nenek dan bibi si puteri yang juga sama ramahnya hendak menuju yogyakarta, tapi mereka salah memesan tiket. Alhasil, mereka harus turun di 2 stasiun sebelum stasiun kota Yogyakarta. Nama stasiunnya saya lupa, tapi yang jelas jarak dari stasiun tersebut ke Yogyakarta sekitar 3-4 jam menggunakan mobil atu motor. Sedangkan suami si ibu ini sudah menunggu di stasiun kota Yogyakarta. Saat masinis dan 2 orang polisi yang memeriksa karcis para penumpang sampai di bangku kami, si ibu menanyakan atau lebih tepatnya memohon keringanan untuk tidak menurunkan mereka di stasiun yang tertera di karcis mereka. Tapi tetap saja tidak ada keringanan untuk mereka.
Iba sebenarnya, membayangkan mereka, yang kesemuanya perempuan harus turun di stasiun yang mereka tidak mengenal daerahnya, di tengah malam sekitar pukul 23.00-an WIB. Tapi apa daya, peraturan tetap peraturan. Mereka menggunakan jasa PT. KAI pun pasti sudah mengetahui dan siap menjalani konsekuensi peraturan yang ada. Akhirnya si ibu menghubungi suaminya via ponsel dan meminta untuk menjemput mereka di stasiun nanti mereka diturunkan dari kereta. Namun, trouble is a friend. Macetnya arus balik memberi masalah lagi. Sekitar pukul sebelas malam saat kereta berhenti di stasiun mereka diturunkan, suami si ibu memberi tahu kalau beliau baru keluar dari kota yogya, dan mungkin masih beberapa jam lagi baru tiba di stasiun tersebut. Mau tak mau mereka harus menunggu disana sampai suami si ibu datang. Kami berpamitan, mereka pun turun dari kereta yang selanjutnya berjalan lagi menjalani kewajibannya mengantar saya ke kota Malang.
Beberapa puluh menit dari turunnya si ibu ramah beserta rombongan, saya mendapat teman ngobrol baru yaitu salah seorang dari 3 pendaki yang duduk di belakang saya. Kang Wawan namanya. Beliau bekerja di salah satu pabrik rumahan pembuatan sepatu di Cibaduyut, Bandung. Kita mulai berbagi cerita dari gunung sampai usaha. Dan pastinya, saya lebih banyak mendengar dari pada bercerita. Sekitar pukul 2 pagi, dan kereta entah sudah sampai di daerah mana, salah seorang teman kang Wawan memanggil kami berdua. Kang sablue panggilannya (waktu itu saya belum tau namanya, dan saya baru tahu nama kang sablue pas camp terakhir di Ranugumbolo setelah summit attack), mengajak dan menawari saya makan yang ternyata mereka juga membawa bekal dari rumah mereka. Kami bertiga menuju lorong antar gerbong untuk membuka bekal kita masing-masing. Lauk seadanya terasa nikmat bagi saya khususnya, karena nasi yang saya makan di kamar kost saya tadi siang itu nasi terakhir yang masuk ke perut saya hari itu. Selesai makan, seperti biasa rutinitas wajib bagi perokok. Meskipun sistem perkereta apian sudah sangat rapi, terutama tentang larangan merokok, tetap saja kami mencuri-curi waktu dan tempat untuk menyempatkan diri merokok di kereta. Bergantian kami masuk kamar mandi untuk merokok dan yang lainnya menjaga di depan pintu kamar mandi pura-pura mengantri, berjaga-jaga kalau ada petugas kereta api yang lewat. Memang benar, merokok lebih terasa nikmatnya kalau sembunyi-sembunyi, seperti dulu sebelum SIM (Surat Izin Merokok) turun dari orang tua. :D (jangan ditiru yah adik-adik).
Semakin akrab saja kami berempat (ditambah kang Darwis yang akhirnya terbangun).
Mulai bosan lagi dengan suasana gerbong kereta yang sudah hampir 12 jam kami tempati itu, kang Wawan mengajak melihat-lihat gerbong lain sekaligus mencari steker listrik untuk mencharge ponsel. Saya dan kang Wawan pergi ke gerbong kelas bisnis, sedangkan 2 orang lagi memilih untuk meneruskan tidur. Di gerbong bisnis-1, kami bertemu dengan bapak baik hati yang memperbolehkan kami mencharge ponsel kami, walaupun pada akhirnya penumpang di seberang kanan si bapak yang menjadi teman ngobrol kami sembari menunggui ponsel yang sedang diisi dayanya. Dia juga hendak mendaki semeru bersama banyak temannya dari Purwakarta. Tak lama kemudian kang Sablue dan kang Darwis ikut bergabung karena mendengar kabar di gerbong bisnis ini bisa mengisi daya ponsel.
Perjalanan pun berlanjut sampai beberapa jam kemudian.
_________________________________________________________________________________


12 Agustus 2013, sekitar pukul 8 pagi, saya berdiri di depan pintu keluar stasiun kota Malang. Penantian yang diiringi oleh tanda tanya, harapan dan do’a. Saya dan 2 orang pendaki lain sedang menunggu rombongan kawan-kawan kami masing-masing yang kebetulan berbeda kereta dengan kami, karena memang mereka start di kota yang berbeda. Kang Wawan dan 2 orang temannya sudah lebih dulu menuju Tumpang, nama sebuah kecamatan  yang menjadi posko pemberhentian sementara bagi para calon pendaki semeru yang menggunakan jalur Ranupane. Mereka bertiga sudah mendapat jemputan dari kawan mereka yang berada di Malang. Sempat mengajak saya juga, tapi saya lebih memilih menunggu kawan-kawan saya yang datang dari Ibukota.

Tidak sampai 1 jam saya menunggu, 2 wajah baru yang samar-samar saya ingat keluar begitu saja melewati pintu keluar stasiun. Saya lebih memfokuskan penglihatan saya pada 1 perempuan mungil memakai kacamata yang cukup besar menurut saya (:D), Diah. Orang yang dengan sabarnya mengkoordinasikan segala keperluan untuk pendakian ke saya via ponsel. Tapi dia tidak mengernyitkan dahi ketika melihat saya, tidak ada ekspresi menerka-nerka atau bertanya-tanya, padahal ini pertama kalinya kita bertatap muka. Tipe orang yang percaya diri dengan keyakinannya, pikir saya.
Dan akhirnya semua tim sudah genap berenam ditambah 2 orang pendaki “gila”, Dimas dan Dian, dan 3 orang pendaki dari bogor (saya lupa namanya). Jadi, 6+2+3=11, yah, jumlah kita ganjil bersebelas.
Angkot biru sewaan sudah siap mengangkut kami, semua tas carrier yang kita bawa masing-masing sudah terjejer rapih dan diikat di atap angkot, kecuali carrier saya, saya lupa diletakkan disebelah mana. Perjalanan sekitar 1 jam menuju Tumpang saya habiskan dengan melamun, membayangkan bagaimana saya menyapa mahameru. Saya terus bertanya-tanya apa saya mampu memeluk mahameru, apa saya sanggup menerima apa yang semeru berikan untuk kami nanti. Do’a pun terucap lagi, semoga kami diizinkan menatap Ibu Pertiwi dari tanah tertinggi pulau Jawa.
Tanpa saya sadari, pak supir sudah memberhentikan angkotnya di depan sebuah Puskesmas. Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Tumpang, kurang lebih begitu nama yang tertera di pagar depan Puskesmas. Ternyata 3 orang dari Bogor tadi belum memiliki surat kesehatan dari dokter, dan menurut info dari pak supir, surat kesehatan bisa didapat dengan mudah disana bagi para pendaki yang hendak mendaki semeru. Kebetulan yang menguntungkan buat saya, karena secara tidak sengaja surat kesehatan yang sudah saya persiapkan dari jauh-jauh hari tertinggal entah dimana, kakak saya yang membuatkannya pun tidak tahu surat tersebut tertinggal dimana. Tanpa berlama-lama lagi saya mengikuti ketiga orang Bogor tadi untuk membuat surat keterangan sehat dari dokter setempat.
Setelah surat kesehatan di tangan, saya bergabung kembali bersama rombongan yang ternyata sudah tak lagi menunggu di angkot, melainkan mengisi perut mereka yang mungkin kelaparan seperti saya (makan terakhir saya kan di kereta sama kang wawan dan kang sablue), di  warung nasi tepat sebelah kanan gedung tempat saya membuat surat kesehatan tadi.
Sekenyangnya kami, pak supir mengantarkan kami ke depan salah satu rumah yang biasa dipakai menjadi posko peristirahatan sementara bagi para pendaki semeru. Sumpah, pemilik rumah ini benar-benar baik hati dan tidak sombong, saya juga yakin pasti dia rajin menabung. Bayangkan! Tanpa permisi, kami bisa langsung duduk-duduk santai di rumahnya, tanpa diminta pula, air teh hangat manis sudah tersedia lengkap bersama camilan-camilan ringan. Semoga Tuhan membalas kebaikan pemilik dan penghuni rumah itu. Kami juga diperbolehkan mengisi daya ponsel, mandi atau melakukan apa saja yang kami butuhkan.
Kami memeriksa kelengkapan peralatan kami. Beban bawaan kami bagi rata (rencananya), nyatanya tetap saja beban bawaan laki-laki harus lebih banyak dari perempuan. Jadi sebenarnya emansipasi wanita itu benar-benar ada atau tidak? Atau hanya alibi bagi para ibu yang kurang berminat untuk mengurus bayi-bayi mereka dan lebih memilih mematuhi perintah laki-laki yang hanya menjabat lebih tinggi sedikit dari dia, daripada mematuhi perintah suami untuk menantinya di rumah dengan senyum yang manis agar menjadi obat untuk lelahnya sang suami setelah seharian mencari penghidupan untuk isi atap rumah yang mereka bangun bersama. Apaaaa coba hahahaha...
Kembali lagi ke pembagian air mineral yang tadi dibeli Tiar di Rumah Makan Ibu anu (saya lupa juga namanya). 2 dus air mineral berkemasan botol besar 1,5 liter dipersiapkan untuk bekal kami sepanjang perjalanan kami nanti. Kebanyakan? Iya, menurut saya juga begitu. Tapi anak-anak beralasan mereka tidak ingin meminum air yang di sediakan alam di semeru, dan pribahasa “sedia air sebelum kehausan” akhirnya saya sepakati, karena saya juga lebih memilih membawa beban berat daripada kehabisan air. Setelah saya adjust tas carrier 60 liter saya, akhirnya 4 botol air mineral 1,5 liter dan 1 derigen air berhasil saya bawa dalam carrier, meskipun 1 derigen air harus saya tenteng karena tidak ada space kosong lagi di dalam carrier. Saya menyempatkan mandi sebentar ketika anak-anak mulai menaikkan bawaan mereka ke dalam mobil truk yang kami sewa untuk transportasi ke Ranupane, desa terakhir sekaligus pos administrasi dan gerbang utama jalur pendakian gunung Semeru.
_________________________________________________________________________________


Pukul 11.00 WIB (kurang lebih), semua barang bawaan sudah tertata “tidak” rapi di bak mobil truk bagian depan. Kesembilan kami sudah mengisi bagian bak yang masih kosong, sedangkan 2  perempuan lagi duduk di samping pak supir yang sedang bekerja, mengendarai mobil supaya baik jalannya. Semuanya siap, dan truk pun meluncur menuju Ranupane yang biasa disebut Ranupani.

Salah satu suasana di atas truk.


Perjalanan kurang lebih 2 jam itu dihiasi oleh panorama alam yang menakjubkan, rute perjalanan yang lumayan ajib, dan keramahan udara yang masih segar belum (dan semoga tidak akan) tercemar ganasnya metropolitan. Setelah keluar dari desa Kunci, memasuki desa Poncokusumo dan Gubukklakah jalanan mulai menyempit dan hanya bisa dilalui satu mobil. Jika berpapasan dengan mobil lain, salah satu harus mengalah untuk menurunkan setengah badan mobil atau bahkan seluruh badan mobil  harus turun dari jalanan beraspal jika berpapasan di belokan yang tajam, dan biasanya mobil yang menurun lah yang akan mengalah dan memberi jalan kepada mobil yang menanjak. Kadang memang harus memacu adrenalin karena banyak jalan yang berada persis di samping tebing, tapi rasa takut sedikit terobati oleh panorama alam yang sangat menakjubkan. Pepohonan rindang yang masih asri, pemuda-pemudi yang sedang memadu kasih di pinggiran tebing pun tak jarang kami lihat. “Pacaran kok di pinggir tebing”, romantis sepertinya, boleh juga tuh ditiru, apalagi kalau sedang bertengkar, tinggal dorong deh ke bawah tebing, dan problem’s out.
Memasuki desa Ngadas, Mahameru sudah terlihat cantik tapi menantang. Beberapa menit kemudian melewati persimpangan jika ke kiri mengarah ke Pos Jemplang, dan ini untuk wisatawan yang akan menuju gunung Bromo, maka kami mengambil arah kanan yang langsung menuju Ranupane. Setelah melewati persimpangan itu, terlihat panorama yang jauh lebih menakjubkan, lautan pasir di kaki gunung Bromo benar-benar memikat hati. Sesempatnya kami mengambil beberapa foto, tidak ingin pemandangan indah itu berlalu begitu saja. 

Padang pasir kaki Gunung Bromo.Photo by gie, Blackberry 9380. Edited and cropped by gie

Jalanan mulai menurun, menandakan desa Ranupane sudah dekat. Tidak lama kemudian pemandangan sebuah desa terlihat dari kejauhan. Ranupane, desa terakhir sebelum pendakian dimulai yang masih sangat asri. Kami disambut oleh banyaknya umbul-umbul berjejer di pinggiran jalan desa. Di sebuah lapangan dengan shelter di pinggirnya truk yang kami tumpangi berhenti, dan itu kendaraan terakhir yang kami naiki. Selanjutnya, kaki-kaki mungil kami yang akan mengantarkan kami ke puncak Mahameru.


Plang di depan Ranupane.Photo by Dimas. Edited and cropped by gie


Ranupane.Photo by Dimas. Edited and cropped by gie
_________________________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar