-gie-
_________________________________________________________________________________
11 Agustus 2013,
08.30 WIB,- saya berada di bis jurusan Merak-Bandung yang biasanya selalu ada
setiap jamnya di terminal Pakupatan, Serang, kali itu saya harus menunggu bis 2
jam lebih karena kebanyakan armada bis disewa untuk angkutan lebaran, karena
waktu itu memang masih dalam masa arus balik. Tapi tak apa, karena saya masih
bisa mengejar keberangkatan kereta dari Stasiun Bandung pada pukul 15.35 WIB.
12.00 WIB saya
tiba di kamar kost. Terhitung cepat memang, karena hari itu Ibukota sedang kosong molongpong, dan thank God saya sempat menikmati
lancarnya jalanan raya Jakarta. Setelah menanak nasi dan memasak lauk untuk
makan siang dan bekal saya di kereta nanti, saya periksa kembali peralatan yang
sudah all packed di avtech outsider
60 liter saya, takut-takut masih ada yang terlupakan karena sadar saya termasuk
pelupa.
Beberapa menit
sebelum berangkatnya kereta, saya sudah turun dari angkot yang membawa saya ke
depan Stasiun Bandung. Sempat kaget sekaligus senang, karena saya lihat ada
beberapa orang yang berkelompok dengan tas besar tinggi di pundak mereka, “mau naik juga” kata saya dalam hati, dan
kalau mereka satu kereta sama saya, saya yakin mereka pun hendak menaklukan
mahameru.
Saya langsung
menaiki kereta yang akan membawa saya ke kota malang, Steve Job’s City saya menyebutnya di personal message BBM saya, sedikit memaksa tapi tak apa (saya kan
lagi senang :D). Gerbong Ekonomi-C K3-1 seat
8B yang saya bayar dengan harga Rp. 175.000 saja (lebih mahal dua kali lipat
dari tiket terakhir saya Bandung-Kediri)
tak begitu sulit saya cari.Carrier saya
taruh di tempat tas di atas kursi penumpang, dan saya langsung duduk di tempat saya
seharusnya duduk.
Masih banyak kursi
penumpang yang kosong waktu saya masuk. Tak ada satu orang pun yang duduk satu
bangku sama saya. Bangku di depan saya diisi oleh seorang ibu dan anak
perempuannya, serta (mungkin) nenek dan bibi si anak di bangku sebelah kanan
mereka. Ada 3 orang yang sepertinya hendak menaklukan mahameru juga duduk di
bangku belakang saya. Di gerbong yang sama, di depan pojok kiri saya, diisi
oleh beberapa orang pendaki juga dan saya yakin di setiap gerbong kereta ini
pasti ada beberapa pendaki yang mengisi, karena saya lihat banyak pendaki yang
masuk kereta ini.
Kereta berangkat,
dan obrolan pun dimulai antara saya dan ibu yang duduk tepat di depan saya
tadi. Seperti biasa, saya tak terlalu banyak bicara, hanya sekedarnya, hanya
menjawab pertanyaan seadanya. “Lebih banyak mendengar” kata seorang kawan. Dan
yupz, she’s right, kadang kita
melupakan hal terpenting dalam komunikasi, listening.
Kebanyakan orang menerjemahkan berkomunikasi seharusnya dalam 2 arah, dan penerjemahan 2 arah ini yang
menurut saya harusnya diluruskan. 2 arah tak harus selalu menjawab, tak harus
selalu menimpali. Mendengarkan lawan bicara lebih penting dari sekedar
menimpali. Meski pun pada akhirnya harus muncul reaksi dari mendengarkan itu
sendiri.
Kembali ke kereta,
ternyata si ibu ramah bersama puterinya beserta nenek dan bibi si puteri yang
juga sama ramahnya hendak menuju yogyakarta, tapi mereka salah memesan tiket.
Alhasil, mereka harus turun di 2 stasiun sebelum stasiun kota Yogyakarta. Nama
stasiunnya saya lupa, tapi yang jelas jarak dari stasiun tersebut ke Yogyakarta
sekitar 3-4 jam menggunakan mobil atu motor. Sedangkan suami si ibu ini sudah
menunggu di stasiun kota Yogyakarta. Saat masinis dan 2 orang polisi yang
memeriksa karcis para penumpang sampai di bangku kami, si ibu menanyakan atau
lebih tepatnya memohon keringanan untuk tidak menurunkan mereka di stasiun yang
tertera di karcis mereka. Tapi tetap saja tidak ada keringanan untuk mereka.
Iba sebenarnya,
membayangkan mereka, yang kesemuanya perempuan harus turun di stasiun yang
mereka tidak mengenal daerahnya, di tengah malam sekitar pukul 23.00-an WIB.
Tapi apa daya, peraturan tetap peraturan. Mereka menggunakan jasa PT. KAI pun
pasti sudah mengetahui dan siap menjalani konsekuensi peraturan yang ada.
Akhirnya si ibu menghubungi suaminya via ponsel dan meminta untuk menjemput
mereka di stasiun nanti mereka diturunkan dari kereta. Namun, trouble is a friend. Macetnya arus balik
memberi masalah lagi. Sekitar pukul sebelas malam saat kereta berhenti di
stasiun mereka diturunkan, suami si ibu memberi tahu kalau beliau baru keluar
dari kota yogya, dan mungkin masih beberapa jam lagi baru tiba di stasiun
tersebut. Mau tak mau mereka harus menunggu disana sampai suami si ibu datang.
Kami berpamitan, mereka pun turun dari kereta yang selanjutnya berjalan lagi
menjalani kewajibannya mengantar saya ke kota Malang.
Beberapa puluh
menit dari turunnya si ibu ramah beserta rombongan, saya mendapat teman ngobrol
baru yaitu salah seorang dari 3 pendaki yang duduk di belakang saya. Kang Wawan
namanya. Beliau bekerja di salah satu pabrik rumahan pembuatan sepatu di
Cibaduyut, Bandung. Kita mulai berbagi cerita dari gunung sampai usaha. Dan
pastinya, saya lebih banyak mendengar dari pada bercerita. Sekitar pukul 2
pagi, dan kereta entah sudah sampai di daerah mana, salah seorang teman kang
Wawan memanggil kami berdua. Kang sablue panggilannya (waktu itu saya belum tau
namanya, dan saya baru tahu nama kang sablue pas camp terakhir di Ranugumbolo
setelah summit attack), mengajak dan
menawari saya makan yang ternyata mereka juga membawa bekal dari rumah mereka.
Kami bertiga menuju lorong antar gerbong untuk membuka bekal kita
masing-masing. Lauk seadanya terasa nikmat bagi saya khususnya, karena nasi
yang saya makan di kamar kost saya tadi siang itu nasi terakhir yang masuk ke
perut saya hari itu. Selesai makan, seperti biasa rutinitas wajib bagi perokok.
Meskipun sistem perkereta apian sudah sangat rapi, terutama tentang larangan
merokok, tetap saja kami mencuri-curi waktu dan tempat untuk menyempatkan diri
merokok di kereta. Bergantian kami masuk kamar mandi untuk merokok dan yang
lainnya menjaga di depan pintu kamar mandi pura-pura mengantri, berjaga-jaga
kalau ada petugas kereta api yang lewat. Memang benar, merokok lebih terasa
nikmatnya kalau sembunyi-sembunyi, seperti dulu sebelum SIM (Surat Izin
Merokok) turun dari orang tua. :D (jangan ditiru yah adik-adik).
Semakin akrab saja
kami berempat (ditambah kang Darwis yang akhirnya terbangun).
Mulai bosan lagi
dengan suasana gerbong kereta yang sudah hampir 12 jam kami tempati itu, kang
Wawan mengajak melihat-lihat gerbong lain sekaligus mencari steker listrik
untuk mencharge ponsel. Saya dan kang
Wawan pergi ke gerbong kelas bisnis, sedangkan 2 orang lagi memilih untuk
meneruskan tidur. Di gerbong bisnis-1, kami bertemu dengan bapak baik hati yang
memperbolehkan kami mencharge ponsel
kami, walaupun pada akhirnya penumpang di seberang kanan si bapak yang menjadi
teman ngobrol kami sembari menunggui ponsel yang sedang diisi dayanya. Dia juga
hendak mendaki semeru bersama banyak temannya dari Purwakarta. Tak lama
kemudian kang Sablue dan kang Darwis ikut bergabung karena mendengar kabar di
gerbong bisnis ini bisa mengisi daya ponsel.
Perjalanan pun
berlanjut sampai beberapa jam kemudian.
_________________________________________________________________________________
12 Agustus 2013,
sekitar pukul 8 pagi, saya berdiri di depan pintu keluar stasiun kota Malang.
Penantian yang diiringi oleh tanda tanya, harapan dan do’a. Saya dan 2 orang
pendaki lain sedang menunggu rombongan kawan-kawan kami masing-masing yang
kebetulan berbeda kereta dengan kami, karena memang mereka start di kota yang berbeda. Kang Wawan dan 2 orang temannya sudah
lebih dulu menuju Tumpang, nama sebuah kecamatan yang menjadi posko pemberhentian sementara
bagi para calon pendaki semeru yang menggunakan jalur Ranupane. Mereka bertiga
sudah mendapat jemputan dari kawan mereka yang berada di Malang. Sempat
mengajak saya juga, tapi saya lebih memilih menunggu kawan-kawan saya yang datang
dari Ibukota.
Tidak sampai 1
jam saya menunggu, 2 wajah baru yang samar-samar saya ingat keluar begitu saja
melewati pintu keluar stasiun. Saya lebih memfokuskan penglihatan saya pada 1
perempuan mungil memakai kacamata yang cukup besar menurut saya (:D), Diah.
Orang yang dengan sabarnya mengkoordinasikan segala keperluan untuk pendakian
ke saya via ponsel. Tapi dia tidak mengernyitkan dahi ketika melihat saya,
tidak ada ekspresi menerka-nerka atau bertanya-tanya, padahal ini pertama
kalinya kita bertatap muka. Tipe orang yang percaya diri dengan keyakinannya,
pikir saya.
Dan akhirnya
semua tim sudah genap berenam ditambah 2 orang pendaki “gila”, Dimas dan Dian,
dan 3 orang pendaki dari bogor (saya lupa namanya). Jadi, 6+2+3=11, yah, jumlah
kita ganjil bersebelas.
Angkot biru
sewaan sudah siap mengangkut kami, semua tas carrier yang kita bawa masing-masing sudah terjejer rapih dan
diikat di atap angkot, kecuali carrier saya,
saya lupa diletakkan disebelah mana. Perjalanan sekitar 1 jam menuju Tumpang saya
habiskan dengan melamun, membayangkan bagaimana saya menyapa mahameru. Saya
terus bertanya-tanya apa saya mampu memeluk mahameru, apa saya sanggup menerima
apa yang semeru berikan untuk kami nanti. Do’a pun terucap lagi, semoga kami
diizinkan menatap Ibu Pertiwi dari tanah tertinggi pulau Jawa.
Tanpa saya
sadari, pak supir sudah memberhentikan angkotnya di depan sebuah Puskesmas.
Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Tumpang, kurang lebih begitu nama yang
tertera di pagar depan Puskesmas. Ternyata 3 orang dari Bogor tadi belum
memiliki surat kesehatan dari dokter, dan menurut info dari pak supir, surat
kesehatan bisa didapat dengan mudah disana bagi para pendaki yang hendak
mendaki semeru. Kebetulan yang menguntungkan buat saya, karena secara tidak sengaja
surat kesehatan yang sudah saya persiapkan dari jauh-jauh hari tertinggal entah
dimana, kakak saya yang membuatkannya pun tidak tahu surat tersebut tertinggal
dimana. Tanpa berlama-lama lagi saya mengikuti ketiga orang Bogor tadi untuk
membuat surat keterangan sehat dari dokter setempat.
Setelah surat
kesehatan di tangan, saya bergabung kembali bersama rombongan yang ternyata
sudah tak lagi menunggu di angkot, melainkan mengisi perut mereka yang mungkin
kelaparan seperti saya (makan terakhir saya kan di kereta sama kang wawan dan
kang sablue), di warung nasi tepat
sebelah kanan gedung tempat saya membuat surat kesehatan tadi.
Sekenyangnya kami,
pak supir mengantarkan kami ke depan salah satu rumah yang biasa dipakai
menjadi posko peristirahatan sementara bagi para pendaki semeru. Sumpah,
pemilik rumah ini benar-benar baik hati dan tidak sombong, saya juga yakin
pasti dia rajin menabung. Bayangkan! Tanpa permisi, kami bisa langsung
duduk-duduk santai di rumahnya, tanpa diminta pula, air teh hangat manis sudah
tersedia lengkap bersama camilan-camilan ringan. Semoga Tuhan membalas kebaikan
pemilik dan penghuni rumah itu. Kami juga diperbolehkan mengisi daya ponsel,
mandi atau melakukan apa saja yang kami butuhkan.
Kami memeriksa
kelengkapan peralatan kami. Beban bawaan kami bagi rata (rencananya), nyatanya
tetap saja beban bawaan laki-laki harus lebih banyak dari perempuan. Jadi
sebenarnya emansipasi wanita itu benar-benar ada atau tidak? Atau hanya alibi
bagi para ibu yang kurang berminat untuk mengurus bayi-bayi mereka dan lebih
memilih mematuhi perintah laki-laki yang hanya menjabat lebih tinggi sedikit
dari dia, daripada mematuhi perintah suami untuk menantinya di rumah dengan
senyum yang manis agar menjadi obat untuk lelahnya sang suami setelah seharian
mencari penghidupan untuk isi atap rumah yang mereka bangun bersama. Apaaaa
coba hahahaha...
Kembali lagi ke
pembagian air mineral yang tadi dibeli Tiar di Rumah Makan Ibu anu (saya lupa
juga namanya). 2 dus air mineral berkemasan botol besar 1,5 liter dipersiapkan
untuk bekal kami sepanjang perjalanan kami nanti. Kebanyakan? Iya, menurut saya
juga begitu. Tapi anak-anak beralasan mereka tidak ingin meminum air yang di
sediakan alam di semeru, dan pribahasa “sedia air sebelum kehausan” akhirnya saya
sepakati, karena saya juga lebih memilih membawa beban berat daripada kehabisan
air. Setelah saya adjust tas carrier 60 liter saya, akhirnya 4 botol
air mineral 1,5 liter dan 1 derigen air berhasil saya bawa dalam carrier, meskipun 1 derigen air harus saya
tenteng karena tidak ada space kosong
lagi di dalam carrier. Saya
menyempatkan mandi sebentar ketika anak-anak mulai menaikkan bawaan mereka ke
dalam mobil truk yang kami sewa untuk transportasi ke Ranupane, desa terakhir
sekaligus pos administrasi dan gerbang utama jalur pendakian gunung Semeru.
_________________________________________________________________________________
Pukul 11.00 WIB (kurang lebih), semua barang bawaan
sudah tertata “tidak” rapi di bak mobil truk bagian depan. Kesembilan kami
sudah mengisi bagian bak yang masih kosong, sedangkan 2 perempuan lagi duduk di samping pak supir
yang sedang bekerja, mengendarai mobil supaya baik jalannya. Semuanya siap, dan
truk pun meluncur menuju Ranupane yang biasa disebut Ranupani.
Salah satu suasana di atas truk.
Perjalanan kurang
lebih 2 jam itu dihiasi oleh panorama alam yang menakjubkan, rute perjalanan
yang lumayan ajib, dan keramahan udara yang masih segar belum (dan semoga tidak
akan) tercemar ganasnya metropolitan. Setelah keluar dari desa Kunci, memasuki
desa Poncokusumo dan Gubukklakah jalanan mulai menyempit dan hanya bisa dilalui
satu mobil. Jika berpapasan dengan mobil lain, salah satu harus mengalah untuk
menurunkan setengah badan mobil atau bahkan seluruh badan mobil harus turun dari jalanan beraspal jika
berpapasan di belokan yang tajam, dan biasanya mobil yang menurun lah yang akan
mengalah dan memberi jalan kepada mobil yang menanjak. Kadang memang harus
memacu adrenalin karena banyak jalan yang berada persis di samping tebing, tapi
rasa takut sedikit terobati oleh panorama alam yang sangat menakjubkan.
Pepohonan rindang yang masih asri, pemuda-pemudi yang sedang memadu kasih di
pinggiran tebing pun tak jarang kami lihat. “Pacaran kok di pinggir tebing”, romantis sepertinya, boleh juga tuh
ditiru, apalagi kalau sedang bertengkar, tinggal dorong deh ke bawah tebing,
dan problem’s out.
Memasuki desa Ngadas, Mahameru sudah terlihat cantik
tapi menantang. Beberapa menit kemudian melewati persimpangan jika ke kiri
mengarah ke Pos Jemplang, dan ini untuk wisatawan yang akan menuju gunung
Bromo, maka kami mengambil arah kanan yang langsung menuju Ranupane. Setelah
melewati persimpangan itu, terlihat panorama yang jauh lebih menakjubkan,
lautan pasir di kaki gunung Bromo benar-benar memikat hati. Sesempatnya kami
mengambil beberapa foto, tidak ingin pemandangan indah itu berlalu begitu saja.
Padang pasir kaki Gunung Bromo.Photo by gie, Blackberry 9380. Edited and cropped by gie
Jalanan mulai
menurun, menandakan desa Ranupane sudah dekat. Tidak lama kemudian pemandangan
sebuah desa terlihat dari kejauhan. Ranupane, desa terakhir sebelum pendakian
dimulai yang masih sangat asri. Kami disambut oleh banyaknya umbul-umbul
berjejer di pinggiran jalan desa. Di sebuah lapangan dengan shelter di pinggirnya truk yang kami
tumpangi berhenti, dan itu kendaraan terakhir yang kami naiki. Selanjutnya,
kaki-kaki mungil kami yang akan mengantarkan kami ke puncak Mahameru.
Plang di depan Ranupane.Photo by Dimas. Edited and cropped by gie
Ranupane.Photo by Dimas. Edited and cropped by gie
_________________________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar