remember one thing...shit always happens...

Sabtu, 07 September 2013

Mengejar Sujud ke Mahameru

Mahameru, izinkanku bersujud dari atasmu...
-gie-
_________________________________________________________________________________

Pukul 09.00 WIB, alarm di handphone saya dan sukma berbunyi. Tapi alarm handphone saya yang lebih saya dengar karena letaknya tepat di telinga kiri saya. Tapi saya baru benar-benar bangun beberapa menit kemudian, selanjutnya saya membangunkan anak-anak yang satu tenda bareng saya, Sukma, Tiar dan Erwin. Bang Dimas dan bang Dian yang tidur di tenda depan saya, saya panggil-panggil dengan berteriak, malas untuk keluar tenda karena di dalam tenda pun dinginnya sangat terasa. Selanjutnya kang Wawan yang saya panggil di tenda sebelah kiri saya. Semua sudah menyahut, kami bersiap-siap, memeriksa peralatan, mengumpulkan lagi motivasi dan semangat yang sedikit luntur karena tidur lelap kami tadi. Kami luruskan motivasi menjamah Mahameru, mengesampingkan angkuh dan sombong.
Kami berenam berkumpul membentuk lingkaran seperti biasanya, berdo’a. Kali ini bang Dimas menyuruh saya yang memimpin do’a. “Malam ini kita menghampiri mahameru, semoga Mahameru sudi bersahabat dengan kita, semoga Mahameru mengizinkan kita bersujud di puncaknya. Berdo’a menurut agama dan kepercayaan masing-masing, berdo’a mulai”, begitu kurang lebih kalimat pengiring do’a dari saya. Selanjutnya bang Dimas: “apapun yang terjadi kita harus tetep bareng. Dian lo di depan nyari trek, lanjut Yogie, Sukma, terus Erwin, Tiar, gw di belakang jagain. Inget siapa di depan dan belakang kita. Kalo capek langsung ngomong biar kita berhenti barengan”.
Kami bergabung ke rombongankang Wawan dan yang lainnya. Entah berapa orang jumlah kita akhirnya saat itu saya ga tau.Berdo’a dimulai lagi. Kang Sablu yang memimpin: “Ingat, kita satu tim. Jangan dipaksain kalo cape atau gak kuat bilang”. Kami semua berangkat, kami berenam berada di tengah-tengah diantara rombongan kang Wawan dan temannya.
Melewati satu-satunya shelter di Kalimati, lalu jalanan menurun sedikit melalui sungai bekas aliran lahar Mahameru.Dari sana jalanan tak ada lagi yang menurun. Semuanya benar-benar menanjak bahkan jauh lebih terjal dari Tanjakan Cinta. Ditambah lagi akar-akar pepohonan yang banyak melintang di jalur yang kami lalui menjadi tambahan penghambat langkah kami. Sering kami harus saling mengulurkan tangan untuk menarik kawan yang ada di bawah kami masing-masing. Terutama Sukma, karena dia satu-satunya wanita di rombongan kami, lebih sering harus ditarik menaiki gundukan-gundukan tanah yang tinggi. Kang Sablu dan 2 orang yang saya tidak tahu namanya di depan berjalan sedikit lebih cepat dan gesit dari kami berenam. Saya dibelakang mereka bertiga menjaga jarak agar yang depan tidak terlalu cepat dan yang di belakang tidak tertinggal. Berkali-kali saya harus berteriak ke depan supaya memperlambat langkah mereka, karena di belakang saya sering tertinggal. Tepat di belakang saya Tiar yang sekali-kali menuntun Sukma, dilanjut Erwin, bang Dian dan bang Dimas. Di belakang kami sisa rombongan kang Wawan dan teman-temannya kelihatannya sedikit terhalang oleh kami yang istirahat lebih sering dari mereka.
Tebal pakaian yang kami pakai karena suhu dari Kalimati saja sudah benar-benar dingin. Saya pribadi memakai 2 kaos dan 2 jaket tebal lengkap dengan tudung kepalanya, 1 kupluk dan 1 celana PDL. Karena pakaian kami yang tebal, ditambah pasokan oksigen yang makin tinggi makin berkurang, dan trek yang kami lalui sangat terjal, membuat nafas lebih cepat habis, jantung terpompa lebih kencang dari biasanya. Energi pun lebih cepat terkuras, konsumsi air jadi lebih banyak. Tidak berapa lama, yang kami takutkan terjadi. Tiar mengeluh sesak, dan diperlukan bantuan oksigen. Kami pun ikut menggunakan moment tersebut untuk beristirahat, karena jujur kita semua kelelahan. Tiar yang tadinya menuntun Sukma terpaksa harus sedikit dituntun, alhasil Tiar dan Sukma harus sedikit dituntun, dan kami melakukannya bergantian.
Pukul 00.30 kita sudah melewati Arcopodo, lahan terakhir yang bisa dipakai camp. Katanya banyak yang mendirikan tenda disini, tapi malam itu saya tidak melihat atau mungkin tidak sempat melihat satu tenda pun berdiri, mungkin karena gelap atau pikiran saya sedang fokus ke hal lain. Disini istirahat kami bersama rombongan yang terakhir (seingat saya), karena saat itu kami berenam memutuskan melanjutkan lebih dulu karena yakin akan tersusul lagi, lebih-lebih tidak ingin rombongan selain kami terhadang oleh kami. Mulai dari sini, koordinasi dengan rombongan selain kami berenam tidak sebaik seperti sebelum Arcopodo. Dan celakanya, justru trek di Arcopodo ini lebih sulit lagi. Selain jalur yang terjal dan akar-akar yang banyak melintang, jalur di sekitar Arcopodo ini lebih sempit lengkap dengan jurang di kanan kirinya, dan juga mulai berpasir karena semakin dekat dengan Cemoro Tunggal, pohon terakhir di perbatasan vegetasi dan pasir Mahameru.
Benar saja, kami berenam tersusul lagi oleh sebagian rombongan kang Wawan tadi. Kang Sablu yang mendahului kami dan yang lainnya berinisiatif memasang tali webbing untuk membantu anggota rombongan yang lainnya dan saya juga dihadiahi 1 tali webbing, “untuk jaga-jaga” kata kang Sablu. Di perbatasan vegetasi inilah kami berenam benar-benar terpisah dengan rombongan kang Wawan. Tapi tak mengapa, toh yang paling penting kami berenam tidak terpisah. Tepat di Cemara Tunggal, tempat terakhir kami melihat kang Sablu, kami berenam beristirahat banyak karena kondisi Tiar mulai down lagi. Kami mempersilahkan rombongan yang lain lebih dulu.
Dari Cemoro tunggal, melihat ke atas dan kebawah yang terlihat hanya sinar-sinar lampu senter atau headlamp yang menyala berjejer rapih. Indah, cantik tapi membangkitkan kekhawatiran di diri saya sendiri. Ramai sekali di jalur pasir ini. Pemandangannya saja terlihat seperti semut sedang berjejer dan bersalam-salaman,  hanya saja kali ini semutnya bercahaya seperti kunang-kunang.
Kami meyakinkan dan mengasah lagi motivasi masing-masing kami terutama Tiar. Kami meyakinkan Tiar kalau kita mampu. Dengan sedikit dorongan, Tiar pun menganggukan kepala dan mengacungkan jempol tanda dia siap lagi.Komando diambil alih lagi oleh bang Dimas, setelah sebelumnya kami dikomandoi oleh kang Sablu.  Bang Dian berjalan lebih dulu, dilanjutkan Erwin dengan sedikit menuntun Tiar, lalu saya, Sukma terakhir bang Dimas.
Trek kali inilah yang benar-benar bisa disebut trek. Jalur yang terdiri dari pasir bercampur kerikil-kerikil kecil yang sesekali dan hampir sering masuk ke dalam sepatu. Setiap melangkah, pasti kaki harus masuk 10cm lebih ke dalam pasir karena sifat pasir yang labil. Benar-benar menguras tenaga, pikiran terutama hati. Karena setiap melangkah 2 atau tiga langkah kami harus merosot lagi sejauh 1,2 atau 3 langkah bahkan lebih sampai 1-2 meter. Disini saya mulai mempertanyakan brand sepatu saya yang selalu saya bangga-banggakan itu. “Semoga sepatu gw gak jebol” harap saya cemas. Karena disamping kecewa, nasib kaki saya yang saya khawatirkan saat melaluii jalur seperti ini dengan sepatu yang rusak.
Kami melanjutkan pendakian dengan kondisi badan lebih membungkuk untuk menghindari merosot terlalu jauh, kami pun harus lebih sering merangkak daripada berdiri. Setelah melewati kira-kira setengah jalur pasir, kami berhenti total. Tiar benar-benar tidak sanggup lagi berjalan. Sepertinya kakinya tidak kuat lagi menopang badannya, lemas katanya. Kami beristirahat lebih lama. Tiar bilang dia tidak kuat lagi melanjutkan. Tapi tim tidak meninggalkan Tiar begiitu saja, dan tidak mungkin harus kembali lagi ke Kalimati karena kami sudah setengah jalan. Bukan tidak mungkin kembali, lebih tepatnya terasa sia-sia kalau harus menyerah setelah setengah jalan kami berhasil lalui. Ditambah lagi jalur seperti ini tidak mudah pula untuk dituruni, harus juga berpapasan dengan orang-orang yang sedang naik, dan juga sumber penglihatan kami hanya dari cahaya senter dan headlamp yang kami gunakan. Jadi, kesimpulannya lebih baik meneruskan dari pada harus turun lagi. Bagaimana dengan Tiar?. Itu prioritas utama tim saat itu. Tiar akhirnya “diderek”, dengan mengikatkan tali webbing pemberian kang Sablu ke pinggang Tiar lalu diikatkan ke pinggang Erwin, dan Erwin yang bertugas menarik badan Tiar, saya menuntun Sukma, bang Dian membawa daypack berisi air dan obat-obatan. Bang Dimas yang sibuk mengawasi dan mengantisipasi segala kemungkinan yang ada.
Perjalanan berlanjut hingga beberapa puluh meter, Erwin angkat tangan. Dia bilang tak kuat lagi harus menarik badan Tiar. Kami beristirahat lagi. Masalah bertambah ketika kami mengetahui di botol minum kami hanya tersisa sedikit air saja. Sebenarnya masih ada 1 botol besar lagi di daypack yang dibawa bang Dian, tapi itu adalah persedian terakhir air kami sampai nanti turun ke Ranugumbolo. Jadi, kalau air itu habis sekarang, kami tidak akan bertemu air lagi sampai turun ke Ranugumbolo. Pengaturan air yang sudah ketat sekarang semakin diperketat. Jatah kami sampai puncak hanya 1 botol besar air mineral 1,5 liter yang berisi air tidak lebih dari setengahnya, botol minum saya yang tidak lebih dari 1 liter, dan botol minum bang Dimas yang juga kecil. Dan perjalanan pun berlanjut, dan bang Dimas yang akhirnya men”derek” Tiar. Dengan sisa tenaga dan air yang kami miliki, kami melanjutkan berjalan lebih merangkak menuju puncak Mahameru.
Di tengah-tengah perjalanan, urutan tepat kejadiannya saya benar-benar lupa apakah sebelum atau setelah tiar “diderek”. Kami mendapati ada orang jauh di bawah kami membakar petasan kembang api. Bagi saya itu tindakan terkonyol, terbodoh sekaligus paling tidak masuk akal. Ditengah lelahnya para pendaki yang sedang fokus meniti jalan untuk mencapai puncak, dia atau mereka sempat-sempatnya membuyarkan konsentrasi para pendaki dari ledakan petasan yang mereka buat. Bodoh.
_________________________________________________________________________________

Waktu di jam Sukma sudah hampir menunjukan pukul 03.00 WIB, tapi kami masih belum mendengar ada tanda-tanda puncak Mahameru sudah dekat.Jalur menjadi semakin berat, karena beberapa kali kami harus membagi fokus lagi untuk menghindari batu-batu jatuh dari atas. Mungkin karena para pendaki sudah sangat lelah, jadi banyak dari mereka yang tidak fokus dan tidak sengaja menginjak batu yang akhirnya membuat batu itu menggelinding ke bawah, itulah yang harus kami hindari.
Sukma meminta istrirahat lagi. Saya dan Sukma berada di urutan paling belakang dari tim. Mereka berempat terpisah lebih dulu di atas kami berdua, terutama bang Dian yang sepertinya tidak ada lelahnya. Sukma minta diberikan lagi air, saya memberikan botol minum pada Sukma. “basahin bibir aja yah”, seperti itu pengaturan air yang saya buat. Karena sebenarnya haus yang kami rasakan lebih dikarenakan debu yang membuat tenggorokan kita kering, maka ketika haus saya memaksa anak-anak untuk menahannya. Kalau sudah benar-benar tidak kuat baru saya kasih botol minum saya, karena itu jatah air terakhir untuk saat itu. Beruntungnya botol minum saya didesign dengan lubang keluarnya air yang sempit, sehingga ketika botol saya dibalik, air yang keluar hanya berupa tetesan. Untuk meminumnya, kami harus menempelkan bibir kami dan menyedotnya. Jadi, saat itu kami yang ingin minum, harus menempelkan ujung lubang air botol saya lalu mengoles-oleskannya di seluruh bibir, setelah itu baru disedot dengan jatah satu sedotan pendek lalu dikumur-kumur, baru setelah itu kami boleh menelannya. Pengaturan yang saya buat itu sedikit menyelamatkan kami. Karena pada akhirnya air pun tetap habis. Tapi setelah anak-anak sedikit memohon, akhirnya bang Dimas mengizinkan untuk mengisi lagi botol minum saya dengan persediaan air yang ada di daypack bang Dian, dan itu benar-benar yang terakhir. Karena setelah itu, botol minum saya serahkan ke Erwin karena tahu konsumsi minum Sukma lebih banyak dari yang lainnya. Dan demi kebaikan bersama-sama pula, botol minum saya percayakan ke Erwin. Saya tidak terlalu bermasalah, karena saya, bang Dimas dan bang Dian termasuk jarang minum, kami bertiga sedikit lebih bisa mengatur konsumsi air kami. Tapi setelah beberapa kali beristirahat saya perhatikan, air yang saya percayakan ke Erwin tetap saja berkurang lebih banyak. Ya sudahlah, toh sama saja akan habis juga. Dan air pun benar-benar habis. Tidak ada lagi jatah air untuk kami.
Putus asa mulai menjangkiti kami. Diperburuk lagi persediaan air terakhir hanya setengah botol yang ada di daypack bang Dian. Pikiran kami benar-benar bercampur aduk. Perjalanan ini sepertinya tidak berujung. Rasa bosan, jenuh, lelah, benar-benar menguras tenaga kami habis, tinggal semangat yang tersisa. Intensitas istirahat kami lebih banyak, berjalan 2-3 langkah berhenti. Kami berjalan bukan lagi dengan tenaga, kami berjalan dengan sisa-sisa semangat yang kami masih miliki.
Sudah jam 5 lebih, langit mulai sedikit menunjukan warnanya. Fajar sudah menyingsing. Tapi sepertinya kami masih jauh dari puncak. Tim mulai terpisah lagi, tanpa sadar ternyata bang Dimas yang menuntun Tiar sudah berada di jalur sebelah kanan, begitu juga Erwin dan bang Dian. Saya masih berada di jalur sebelah kiri bareng Sukma. Kami terpisah oleh batu besar yang memanjang ke atas. Ingin menyusul ke seberang kanan, tapi sepertinya tak sanggup, akhirnya saya memutuskan melanjutkan di jalur sebelah kiri.
Langit sudah semakin terang, tapi matahari pagi belum muncul. Motivasi mulai tinggi lagi, karena dari atas terdengar teriakan “puncak...puncak...”. Entah halusinasi, atau mungkin orang di atas hanya memotivasi kami yang masih di bawah, tapi jujur itu memotivasi saya pribadi untuk lebih cepat lagi berjalan. Samar saya lihat sekitar 50 meter ke atas saya ada batu besar, dan secara sepihak saya berpendapat kalau di balik batu itu adalah puncak Mahameru. Lagi, saya memotivasi Sukma yang semakin lemas, “mau lihat sunrise di puncak?”, saya memotivasi Sukma. Sukma hanya mengangguk. Jarang dia bicara, selain “istirahat donk”, “air”, “break", “masih jauh ga sih”, kata-kata itu yang lebih sering dia keluarkan.
Bang Dimas masih setia menuntun Tiar, Erwin sesekali berhenti tanpa terlihat menengguk air (karena air kami sudah habis), bang Dian masih seperti biasa berada di depan semua anggota Tim. Dan sedikit di atas saya, satu jalur sama saya dan Sukma, saya melihat orang memakai jaket kuning terang yang sepertinya saya kenal, kang Darwis (tapi waktu itu saya juga belum tahu namanya kang Darwis). Kelihatannya kondisinya tidak jauh berbeda dengan kami, berjalan 2 langkah lalu berhenti, berjalan lagi 3 langkah lalu berhenti lagi, bedanya kang Darwis tidak duduk waktu berhenti, katanya lebih susah lagi kalau isitirahat sambil duduk. Saya sedikit mempercepat langkah ingin menyapa dulur yang dari tadi malam terpisah. Setelah dekat, saya langsung memegang kaki kang Darwis, karena begian tubuh yang paling dekat yang bisa disentuh itu kakinya kang Darwis. Kang Darwis menoleh dan terlihat sumringah melihat masih ada kawan yang bareng dia. Karena kang Darwis juga terpisah jauh dari rombongan yang sudah jauh lebih dulu meninggalkan kang Darwis. Kami pun berjalan berbarengan bertiga, tapi tanpa saya sadari, kang Darwis tertinggal lagi di bawah saya dan Sukma, tapi tidak terlalu jauh hanya beberapa meter saja di bawah kami.
Langit semakin terang, semburat warna langit yang menguning menandakan beberapa menit lagi matahari sudah akan hadir, tapi batu besar yang menjadi tujuan kami tadi masih saja sebatas penglihatan, kami bahkan belum mendekati, masih terlihat berpuluh-puluh meter lagi kami bisa sampai disana. Mulai lagi berputus asa, kami beristirahat lagi di batu yang bisa untuk bersandar. “gak akan ngeliat sunrise di puncak”, saya pikir. Saya mengeluarkan canon 1100D milik Tiar dan Erwin yang entah sejak kapan saya bawa, karena sebelumnya, seingat saya Sukma yang menenteng tas kamera  ini. Mungkin bergantian saya yang akhirnya menenteng tas kamera, tapi saya lupa sejak kapan. Yang jelas saya tidak mau melewatkan panorama yang satu ini. Tidak apa-apa kalau saya tidak menyaksikan matahari terbit dari puncak Mahameru, tapi saya tidak mau melewatkan panorama matahari terbit meski hanya di punggung Mahameru. Saya mulai mengambil beberapa foto sembari beristirahat. Baru sadar saya, ternyata pemandangannya luar biasa. Gumpalan awan berada tepat di bawah kami, panorama yang jarang sekali ditemui.


Sunrising di punggung Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D. Edited, cropped and mixed by gie.


Sukma, latar suasana jalur pasir Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D.


Darwis dan suasana jalur pasir Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D.

Sedikit menikmati keindahan panorama yang ada, cukup mengobati kelelahan yang ada tapi tidak mengembalikan tenaga yang sudah habis berceceran dari kalimati sampai tempat kami berdiri saat itu. Kami melanjutkan lagi perjalanan meski dengan tertatih-tatih, karena langit sudah benar-benar terang. Kami mengkhawatirkan matahari yang nanti akan semakin meninggi, suhu pasti akan terasa jauh lebih panas, debu akan semakin banyak karena pasir sudah tak lagi lembab oleh dingin, ditambah lagi kalau terlalu siang sampai di puncak dikhawatirkan angin sudah berubah arah menuju arah kami membawa gas beracun dari kawah junggring saloko, dan saya pribadi tidak mau perjalanan hanya terhenti sampai disini. Jadi, saya sedikit memaksa Sukma untuk tetap lanjut waktu dia bilang “gak kuat lagi”. Saya sudah kehabisan motivasi untuk Sukma, yang bisa saya bilang ke Sukma tinggal kalimat “tanggung, sebentar lagi, sayang kalo gak sampe puncak”.
Tiba-tiba saja bang Dimas dan yang lainnya berhenti di seberang kanan. Terlihat bang Dimas meringis, bukan kesakitan, tapi dia bilang dia tidak kuat lagi menuntun Tiar. Erwin pun terlihat putus asa. Singkat cerita, akhirnya Tiar dan Erwin memutuskan tidak melanjutkan lagi, dan bang Dimas melanjutkan setelah beberapa menit beristirahat. Saya pun memutuskan untuk lanjut pastinya. Dengan sedikit lagi memaksa Sukma  untuk tetap lanjut kami pun melanjutkan pendakian, meski hanya tersisa saya, Sukma, bang Dimas, bang Dian, kang Darwis yang semakin jauh tertinggal, dan beberapa pendaki lainnya.
Semakin siang, pasir tak lagi lembab yang menyebabkan pasir semakin labil dan semakin banyak batuan yang berjatuhan, parahnya yang berjatuhan kini semakin besar-besar saja. Diperparah lagi sudah banyak pendaki yang berhasil mencapai puncak sebelum sunrise mulai turun untuk pulang. Karena saat turun, langkah kaki akan lebih cepat dan menyebabkan debu berterbangan lebih banyak dan banyak batu yang tidak sengaja terinjak dan akhirnya menggelinding lagi ke bawah. Kesal sebenarnya, karena banyak dari mereka yang turun tidak toleransi terhadap kami yang masih berjuang untuk mencapai puncak. Tapi apa daya, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ada orang tinggi besar memakai jaket merah,  sepertinya dia juga terpisah dari rombongannya, beberapa kali harus meloncat-loncat untuk menangkap batu yang jatuh dari atas. Terhitung 3 kali saya lihat dia meloncat untuk menangkap batu yang rata berukuran sebesar kepala orang dewasa. Salute to him.Bahkan, sempat satu kejadian yang sangat saya ingat. Sedang fokusnya semua pendaki terhadap Mahameru, terdengar teriakan yang sangat kencang dari arah atas, “batu..awas batu”. Secara serentak semua kepala menengadah ke atas, mencari-cari dari arah sebelah mana batu datang. Tak terlalu susah mencarinya, karena ukuran batu yang jatuh kali itu 4 kali lebih besar dari kepala orang dewasa, jadi, tidak terlalu sulit untuk melihatnya. Masalahnya lebih besar lagi, karena batu besar itu tidak menggelinding seperti biasanya, tapi memantul-mantul seperti permainan bouncing di ponsel polyphonic generasi pertama. Hal itu menyebabkan semua pendaki tidak bisa memprediksi ke arah mana batu itu akan jatuh, dan kami pun tidak bisa langsung menghindar seperti biasanya. Di jalur sebelah kiri, saya, Sukma, bang Jejen dan pendaki lainnya di jalur kami diam terpaku berjaga-jaga kalau batu besar itu akan memantul ke jalur kami, karena memang batunya memantul-mantul di jalur sebelah kanan kami, jalur bang Dimas dan lainnya. Sedangkan bang Dimas, saya lihat sudah bersiap-siap untuk menghindar jika batunya memantul tepat ke arahnya. Dan BRAAKKKK, saya lihat batunya membentur batu lain yang lebih besar dengan kerasnya, tepat sekitar 2 meter di depan wajah bang Dimas. Tidak tahu seperti apa pastinya perasaan bang Dimas, yang jelas saya pribadi yanghanya melihat dari kejauhan dag dig dug tidak karuan. Terlebih batu terbelah jadi 2 pasca benturan, semakin menyulitkan bang Dimas untukmenghindar. Tapi syukurlah bang Dimas selamat, meski ada seorang wanita yang sedikit terluka kakinya karena kejadian tadi, entah bagaimana ceritanya saya tidak menanyakannya. Dia butuh plester untuk lukanya, saya tawarkan 1 untuknya.


Matahari sudah meninggi di punggung Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D. Edited, cropped and mixed by gie.


Beristirahat. Photo by Dimas, Edited and cropped by gie..


Tiar dan pendaki lain di jalur pasir Mahameru. Photo by Dimas, Edited and cropped by gie..

Singkat cerita lagi, kami sudah sampai di batu besar yang menjadi target kami tadi, tapi ternyata puncak tidak berada tepat di balik batu tadi. Masih jauh lagi kami harus berjalan menuju puncak Mahameru. Sempat juga kami berpapasan lagi dengan orang-orang yang satu rombongan dengan kami dari Kalimati, tapi kami hanya bertegur sapa seadanya karena memang tidak terlalu kenal. Baru ketika berpapasan dengan kang Wawan dan kang Sablu kami berbincang sebentar, bertanya-tanya tentang jarak sampai ke puncak. Sebentar lagi katanya, tapi kang Wawan menyuruh untuk melanjutkan, “omat, kudu nepi ka puncak nya gie”, begitu kata kang Sablu. Mereka meneruskan turun dan kami meneruskan naik, tidak lupa kami meminta air karena sudah berjam-jam lamanya kami tidak minum, tapi ternyata air mereka pun sudah habis tadi di puncak. Tidak lama kemudian kami berpapasan lagi dengan 3 orang dari bogor, kata-kata mereka bertiga yang membuat down saya, “huuuuhhh...jauh keneh gie, aya meureun kana sajam deui  mun teu loba istirahat mah”. Benar-benar down saya dibuatnya. Sebelum mereka turun saya mengemis air ke mereka, biar cuma seteguk juga. Salah satu dari mereka membuka daypacknya lalu mengeluarkan sebotol penuh air 1,5 liter, dengan sigap saya mengambil lalu meminum sedikit airnya, karena tetap saja mereka juga masih butuh untuk mereka sampai ke Ranugumbolo. Sehabis saya, saya kasih ke Sukma yang pastinya sama kehausan juga, tapi saya menyuruhnya untuk minum sedikit saja. Setelah saya kembalikan botol minum mereka, tapi mereka menyuruh saya menyimpannya, “geus bawa weh, urang mah aya keneh”. Baiknya, saya pikir sambil berkaca-kaca dalam hati, seketika itu juga saya melihat mereka seperti malaikat, meski beberapa saat yang lalu saya sempat kesal terhadap mereka bertiga. Kami berterima kasih, dan mereka melanjutkan perjalanan turun mereka. Akhirnya saya melihat sekeliling saya, mencari-cari bang Dimas, bang Dian dan kang Darwis yang pasti kehausan juga, hendak menawarkan air ceritanya. Tapi bang Dimas mengacungkan jempol tangan kanannya, masih ada katanya. Bang Dian entah kemana tidak terlihat, kang Darwis pun masih jauh belasan meter di bawah saya. Akhirnya saya menawarkan orang berjaket merah yang tadi menangkap batu berkali-kali, Jejen namanya. Dia minum sedikit, lalu saya menawarkan lagi ke 2 orang lain di sekitar saya. Mereka berduan yang tidak tahu diri, mentang-mentang ditawari, mereka meminum airnya dengan rakus. Alhasil, air pun tersisa tinggal setengahnya kurang. Saya maklum, dan kami melanjutkan lagi perjalanan.
Singkat cerita, puncak sudah terlihat beberapa belas meter lagi di atas saya dan Sukma. Bang Dimas dan bang Dian sudah disana lebih dulu. Saya meminta Sukma melihat jam, setengah sembilan katanya. Pantas saja, panasnya sangat terasa. Air tinggal tersisa sekitar 2 cm lagi dari dasar botol, kang Darwis sudah tidak terlihat lagi, tinggal saya berdua sama Sukma, dan kami harus benar-benar sampai puncak. Tapi ternyata jarak belasan meter tidak semudah seperti apa yang dibayangkan. Butuh waktu berrpuluh-puluh menit lagi untuk mencapainya.
And finally, saya dan Sukma melewati 2 batu besar yang seakan berperan sebagai gapura selamat datang bagi para pendaki yang berhasil mencapai puncak, hanya saja kurang tulisan “Congratulation... You’re on top of Mahameru”. Sukma meminta air, saya berikan botol air terakhir, saya suruh Sukma untuk menghabiskannya (padahal saya juga haus :))). Bang Dimas dan bang Dian menyambut kami berdua. Perasaan haru memuncak di ubun-ubun saya. Akhirnya, saya ditemani Sukma berhasil berdiri di tanah tertinggi pulau jawa. Impian saya dari setahun lalu, rencana yang sempat gagal beberapa kali akhirnya terwujud meski alur cerita yang berbeda. Tangis haru hampir tumpah, tapi bang Dimas mencegahnya lebih dulu. “Sekarang udah jam 9 lewat seperempat, lo berdua ada waktu 15 menit untuk foto-foto, abis itu langsung turun, takut asap beracunnya naik”, itu kata-kata bang Dimas yang menahan air mata haru saya jatuh. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengajak Sukma untuk foto-foto. Dengan perasaan was-was mengenai gas beracun, saya langsung memilih 2 spot untuk melakukan photo session di puncak Mahameru. Sedangkan bang Dimas dan bang Dian turun lebih dulu untuk melihat keadaan Tiar dan Erwin.
Spot pertama. Karena kepanasan, saya langsung melepaskan 2 jaket tebal beserta kupluk yang saya pakai dari semalam. Banyak kumpulan pendaki yang berhasil mencapai puncak Mahameru dengan sebuah tongkat yang ditancapkan ke dalam tumpukan batu Mahameru sebagai pusatnya. Di ujung tongkat yang hanya sekitar 2 meter saja, berkibar selembar kain yang tak asing lagi bagi warga Indonesia, Sang Saka Merah Putih. Spot itu yang pertama kami ambil. Tidak lama kemudian, sebuah suara angin menyeramkan yang dari semalam kami dengar, kini terdengar lagi dan lebih keras suaranya. Suwara Suwitan Lubang Kaldera, begitu orang-orang menyebutnya. Lalu disusul oleh semburan asap dari kawah Junggring Saloko, sisi selatan Mahameru. Pemandangan indah yang juga tidak ingin saya lewatkan, saya pun mengambil beberapa foto Sukma dengan latar belakang semburan asap kawah Junggring Saloko.


Sukma di puncak Mahameru, latar semburan asap dari kawah Junggring Saloko. Photo by gie, Canon Eos 1100D.


Cropping dari foto di atas. Edited and cropped by gie..

Spot kedua. Plangbertuliskan “PUNCAK SEMERU 3.676 MDPL”, bukti nyata kami benar-benar berhasil mencapai puncak Mahameru. Setelah itu, saya mengambil beberapa view sebagai obyek foto saya, lalu mengajak Sukma untuk turun. Ancaman gas beracun masih mengiang-ngiang di telinga saya.
Sebelum turun, di batu besar yang tadi saya bilang seakan-akan menjadi gapura selamat datang, saya duduk sebentar untuk membersihkan sepatu yang sudah terisi penuh oleh kerikil sepanjang jalan pasir Mahameru. 

Merah Putih di puncak Mahameru. Photo by Dimas, Edited and cropped by gie..

Suasana puncak Mahameru. Photo by gie, Canon Eos 1100D. Edited and cropped by gie.


Dimas. Photo edited and cropped by gie..

Ketika hendak turun, sekitar 10 meter lebih ke bawah dari tempat saya berdiri, saya melihat 2 sosok lelaki yang tidak begitu tampan dan juga tidak begitu tidak tampan, tampak bersusah payah melewati rintangan pasir dan kerikil menuju ke arah saya dan Sukma.
Segera saya meraih tangan mereka satu persatu ketika melewati batu besar yang sekali lagi seakan-akan menjadi gapura selamat datang bagi para pendaki yang berhasil mencapai puncak Mahameru. Saya langsung memeluk mereka. Haru benar-benar memuncak lagi kali ini, mata semakin berkaca-kaca, tangis sudah mulai mengalir tapi masih bisa saya bendung karena sedikit gengsi.
Kami pun melakukan sesi pemotretan lagi, tapi hanya di plang bertuliskan puncak semeru saja. Diselangi ritual foto-foto, saya langsung mengambil posisi untuk melakukan sujud syukur. Tangis langsung tumpah bersamaan dengan sujud. Lelah, haus, panas, hilang sekejap oleh haru, bangga, dan bahagia karena kami berenam akan membawa berita yang sangat menggembirakan ini untuk 2 kawan kami yang bermalam di Ranugumbolo. Akhirnya, pengorbanan mereka berdua untuk memilih bermalam di Ranugumbolo tidak sia-sia. We made it, kami berhasil.
Terima kasih Mahameru, perkenankanku bersujud di atasmu..
Terima kasih Tuhan, mempersilahkan kami menyentuh indah cipta-Mu...


Kami di puncak Mahameru

Kami bareng Jejen di Puncak Mahameru. Photo edited and cropped by gie..
_________________________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar